KONSEP BELAJAR BEHAVIORISTIK
Oleh : Mohamad Sugeng Haryono, SE
(Guru SMP Islam Baitul ‘Izzah Nganjuk, Jawa Timur)
Penerapan konsep belajar Aktif, inovatif,kreatif, efektif, dan menyenangkan tidak serta merta dapat dilakukan jika siswa belum memiliki stock of knowledge atau prior knowledge dari hal yang sedang dipelajarinya.
Pemberian pengalaman belajar sebagai previous experience sangat dibutuhkan. Teori behavioristik memiliki andil besar terhadap hal tersebut. Proposisi-proposisi behavioristik menjadi landasan logis pengorganisasian pembelajaran yang beraksentuasi pada terbentuknya prior knowledge.
Belajar menurut perspektif behavioristik adalah perubahan perilaku sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungannya. Proses interaksi tersebut merupakan hubungan antara stimuli dan respon. Muara belajar adalah terbentuknya kebiasaan. Bagaimana kebiasaan terbentuk?
Watson mengemukakan ada 2 (dua) prinsip dalam pembentukan kebiasaan yaitu kekerapan dan kebaruan. Prinsip kekerapan menyatakan bahwa makin kerap individu bertindak balas terhadap suatu stimuli, apabila kelak muncul lagi stimuli itu, maka akan lebih besar kemungkinan individu memberikan respon yang sama terhadap stimuli tersebut. Prinsip kebaruan menyatakan bahwa jika individu membuat tindak balas yang baru terhadap stimuli, maka apabila kelak muncul lagi stimuli itu, besar kemungkinan individu akan bertindak balas dengan cara yang serupa terhadap stimuli tersebut.
Edwin Guthrie berdasarkan konsep contiguity menyatakan bahwa suatu kombinasi stimuli yang dipasangkan dengan suatu gerakan, akan diikuti oleh gerakan yang sama apabila stimuli tersebut muncul kembali. Pergerakan ini diperoleh melalui latihan. Guthrie juga mengemukakan prinsip tentang pembinaan dan perubahan kebiasaan. Pada dasarnya pembinaan dan perubahan kebiasaan dapat dilakukan melalui threshold method (metode ambang), the fatigue method (metode meletihkan), dan the incompatible response method (metode rangsangan tidak serasi).
Metode ambang adalah metode mengubah tindak balas dengan menurunkan atau meningkatkan stimuli secara berangsur. Metode meletihkan adalah menghilangkan tindak balas yang tidak diinginkan dengan menggalakkan individu mengulangi tindak balas itu sampai akhirnya ia letih. Metode rangsangan tak serasi yaitu dengan memasangkan stimuli yang menimbulkan tindak balas yang tidak diinginkan.
Thorndike berpendapat bahwa belajar pada dasarnya merupakan pembinaan hubungan antara stimuli tertentu dengan respon tertentu. Semua proses belajar dilakukan dengan coba-salah (trial dan error). Ada tiga hukum dalam hal tersebut yaitu :
1. Hukum hasil (law of effect);
Hukum hasil menyatakan bahwa hubungan antara stimuli dengan respon akan makin kukuh apabila terdapat kepuasan, dan sebaliknya.
2. Hukum latihan (law of exercise);
Hukum latihan menyatakan bahwa suatu hubungan antara stimuli dan respon akan makin kukuh apabila sering dilakukan latihan.
3. Hukum kesiapan (law of readiness);
Hukum kesiapan menyatakan bahwa hubungan antara stimuli dan respon akan menjadi kukuh jika disertai dengan kesiapan individu dalam belajar.
Skinner menyatakan bahwa peneguhan (reinforcement) memegang peran penting dalam mewujudkan tindak balas baru. Peneguhan diartikan sebagai suatu konsekuensi perilaku yang memperkuat perilaku tertentu.
Berdasarkan proposisi-proposisi dari para teoristi tersebut diatas, apa implikasinya dalam kegiatan belajar mengajar? Coba anda refleksikan bagaimana anda mengajar selama ini dan cocokkan hasil refleksi itu dengan pernyataan-pernyataan dibawah ini !
Kegiatan belajar mengajar berdasarkan prinsip-prinsip behavioristik merupakan kegiatan belajar figurative. Belajar seperti ini hanya menekankan perolehan informasi dan penambahan informasi. Belajar merupakan proses dialog imperative, bukan dialog interaktif. Belajar bukan proses organic dan konstruktif melainkan proses mekanik. Aktifitas belajar didominasi oleh kegiatan menghafal dan latihan.
Kelemahan dari teori ini adalah :
1. Proses belajar dipandang sebagai kegiatan yang diamati langsung, padahal belajar adalah kegiatan yang ada dalam system syaraf manusia yang tidak terlihat kecuali melalui gejalanya;
2. Proses belajar dipandang bersifat otomatis-mekanis sehingga terkesan seperti mesin atau robot, padahal manusia mempunyai kemampuan self regulation dan self control yang bersifat kognitif. Sehingga, dengan kemampuan ini, manusia bisa menolak kebiasaan yang tidak sesuai dengan dirinya.
3. Proses belajar manusia yang dianalogikan dengan hewan sangat sulit diterima, mengingat ada perbedaan yang cukup mencolok antara hewan dan manusia.(M. Sugeng Haryono - 03586164165)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar