Minggu, 18 Oktober 2009

Afektif Sebuah Strategi Pembelajaran Terapan

STRATEGI PEMBELAJARAN AFEKTIF

Oleh : Mohamad Sugeng Haryono, SE, S.Pd

( Pemerhati Pendidikan )

Pembelajaran afektif banyak yang beranggapan bukan untuk diajarkan, seperti pelajaran biologi, fisika ataupun matematika. Pembelajaran afektif merupakan pembelajaran bagaimana sikap itu terbentuk setelah siswa atau manusia itu memperoleh pembelajaran. Oleh karena itu yang pas untuk afektif bukanlah pengajaran, melainkan pendidikan. Strategi pembelajaran yang akan kita bahas ini diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan yang bukan hanya dimensi kognitif tetapi juga menyangkut dimensi lainnya yakni sikap dan ketrampilan, melalui proses pembelajaran yang menekankan kepada aktifitas siswa sebagai subyek belajar. Afektif berhubungan sekali dengan nilai (value), yang sulit diukur karena menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam. Dalam batas tertentu memang afeksi dapat muncul dalam kejadian behavioral, akan tetapi penilaiannya untuk sampai pada kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan membutuhkan ketelitian dan observasi yang terus menerus, dan hal ini tidaklah mudah untuk dilakukan, apalagi menilai perubahan sikap sebagai akibat dari proses pembelajaran yang dilakukan guru disekolah. Kita tidak serta merta menilai sikap anak itu baik. Sebagai contoh melihat kebiasaan berbahasa atau sopan santun yang bersangkutan, sebagai akibat dari proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru. Mungkin sikap itu terbentuk oleh kebiasaan dalam keluarga dan lingkungan sekitar.

Nilai adalah suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia yang sifatnya tersembunyi, tidak berada didalam dunia yang empiris. Nilai berhubungan dengan pandangan seseorang tentang baik dan buruk, layak dan tidak layak indah dan tidak inadah, dan sebagainya. Pandangan seseorang tentang semua itu tidak bisa diraba, kita hanya mungkin dapat mengetahuinya dari perilaku yang bersangkutan. Oleh karena itu, nilai pada dasaranya standart perilaku, ukuran yang menentukan atau kriteria seseorang mengenai baik dan buruk, layak dan tidak layak, dan sebagainya. Dengan demikian, pendidikan nilai pada dasarnya merupakan proses penanaman nilai kepada peserta didik yang diharapkan oleh karenanya siswa dapat berperilaku sesuai dengan pandangan yang dianggapnya baik dan tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku.

Ada empat faktor yang merupakan dasar kepatuhan seseorang terhadap nilai tertentu yang dikemukakan oleh Douglas Graham (Gulo, 2002), yaitu :

1. Normativist. Biasanya kepatuhan pada norma-norma hukum. Kepatuhan pada nilai atau norma itu sendiri; Kepatuhan pada proses tanpa memperdulikan normanya sendiri; Kepatuhan pada hasilnya atau tujuan yang diharapkannya dari peraturan itu.

2. Integralist, yaitu kepatuhan yang didasarkan pada kesadaran dengan pertimbangan-pertimbangan yang rasional.

3. Fenomenalist, yaitu kepatuhan berdasarkan suara hati atau sekadar basa-basi.

4. Hedonist, yaitu kepatuhan berdasarkan kepentingan diri sendiri.

Faktor Normativist adalah faktor yang kita harapkan menjadi dasar kepatuhan setiap individual, karena kepatuhan semacam inilah adalah kepatuhan yang didasari kesadran akan nilai tanpa memperdulikan apakah perilaku itu menguntungkan untuk dirinya atau tidak.

Dari empat faktor diatas terdapat lima tipe kepatuhan, yakni :

a. Otoritarian, yaitu suatu kepatuhan tanpa reserve atau kepatuhan yang ikut-kutan.

b. Conformist, kepatuhan ini mempunyai tiga bentuk, antara lain : conformist directed yaitu penyesuaian diri terhadap masyarakat atau orang lain, conformist hedonist yaitu kepatuhan yang berorientasi pada “untung-rugi” dan conformist integral yaitu kepatuhan yang menyesuaikan kepentingan diri sendiri dengan kepentingan masyarakat.

c. Compulsive deviant, yaitu kepatuhan yang tidak konsisten.

d. Hedonik psikopatik, yaitu kepatuhan pada kekayaan tanpa memperhitungkan kepentingan orang lain.

e. Supramoralist, yaitu kepatuhan karena keyakinan yang tinggi terhadap nilai-nilai moral.

Pada era teknologi informasi yang berkembang secara pesat ini, pendidikan nilai sangatlah penting untuk diterapkan sebagai filter terhadap perilaku yang negatif. Nilai pada seseorang tidaklah statis, akan tetapi selalu berubah. Setiap orang akan menganggap sesuatu itu baik sesuai dengan pandangannya pada saat itu. Oleh sebab itu, sistem nilai yang dimiliki seseorang itu bisa dibina dan diarahkan. Apabila seseorang menganggap nilai agama adalah diatas segalanya, maka nilai-nilai yang lain akan bergantung pada nilai agama itu. Dengan demikian sikap seseorang sangat tergantung pada sistem nilai yang dianggapnya paling benar dan kemudian sikap itu yang akan mengendalikan perilaku orang tersebut.

Gulo (2005) menyimpulkan tentang nilai sebagai berikut :

1. Nillai tidak bisa diajarkan tetapi diketahui dari penampilannya.

2. Pengembangan domain afektif pada nilai tidak bisa dipsahkan dari aspek kognitif dan psikomotorik.

3. Masalah nilai adalah masalah emosional dan karena itu dapat berubah, berkembang, sehingga bisa dibina.

4. Perkembangan nilai atau moral tidak terjadi sekaligus, tetapi melalui tahap tertentu.

Sikap adalah kecenderungan seseorang untuk menerima atau menolak suatu obyek berdasarkan nialai yang dianggapnya baik atau tidak baik. Dengan demikian, belajar sikap berarti memperoleh kecenderungan untuk menerima atau menolak suatu obyek; berdasarkan penilaian terhadap obyek itu sebagai hal yang berguna/berharga (sikap positif) dan tidak berharga/tidak berguna (sikap negatif). Sikap merupakan suatu kemampuan internal yang berperanan sekali dalam mengambil tindakan (action), lebih-lebih apabila terbuka berbagai kemungkinan untuk bertindak atau tersedia beberapa alternatif (Winkel, 2004).

Apakah sikap dapat dibentuk ?

Dalam proses pmbelajaran disekolah, baik secara disadari maupun tidak, guru dapat menanamkan sikap tertentu kepada siswa melalui proses pembiasaan. Belajar membentuk sikap melalui pembiasaan itu juga dilakukan oleh Skinner mellui teorinya operant conditioaning. Proses pembentukan sikap yang dilakukan Watson berbeda denagn yang dilakukan oleh Skinner. Pembentukan sikap yang dilakukan Skinner menekankan pada proses peneguhan respons anak. Setiap kali anak menunjukkan prestasi yang baik diberikan penguatan (reinforcement) dengan cara memberikan hadiah atau perilaku yang menyenangkan. Lama kelamaan, anak berusaha meningkatkan sikap positifnya.

Pembelajaran sikap seseorang dapat juga dilakukan melalui proses modelling, yaitu pembentukan sikap melalui proses asimilasi atau proses mencontoh. Salah satu karakteristik anak didik yang sedang berkembang adalah keinginannya untuk melakukan peniruan. Prinsip peniruan ini yang dimaksud dengan modeling. Modeling adalah proses peniruan anak terhadap orang lain yang menjadi idolanya atau orang yang dihormatinya.

Proses penanaman sikap anak terhadap sesuatu obyek melalui proses modeling pada awalnya dilakukan secara mencontoh, namun anak perlu diberi pengarahan dan pemahaman mengapa hal itu dilakukan. Hal ini diperlukan agar sikap tertentu yang muncul benar-benar didasari oleh suatu keyakinan kebenaran sebagai suatu sistem nilai.

Model-model Strategi Pembelajaran Sikap antara lain :

1. Model Konsiderasi

Model konsiderasi (the consideration model) dikembangkan oleh Mc. Paul (seorang humanis). Dia menganggap bahwa pembentukan moral tidak sama dengan pengembangan kognitif yang rasional. Menurut dia, pembelajaran moral siswa adalah pembentukan kepribadian bukan pengembangan intelektual. Model ini menekankan kepada strategi pembelajaran yang dapat membentuk kepribadian dengan tujuan agar siswa menjadi manusia yang memiliki kepedulian terhadap orang lain. Pembelajaran sikap pada dasarnya adalah membantu anak agar dapat mengembangkan kemampuan untuk bisa hidup bersama secara harmonis, peduli, dan merasakan apa yang dirasakan orang lain. Implementasi dari model ini, guru dapat mengikuti tahapan dibawah ini :

a.Menghadapkan siswa pada suatu masalah yang mengandung konflik, yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Cipatakan suasana “seandainya siswa tersebut ada dalam masalah itu”.

b.Menyuruh siswa untuk menganalisis situasi masalah dengan melihat bukan hanya yang tampak, tetapi juga yang tersirat dalam permasalahan tersebut, misalnya perasaan, kebutuhan, dan kepentingan orang lain.

c.Menyuruh siswa untuk menuliskan tanggapannya terhadap permasalahan yang dihadapi. Hal ini dimaksudkan agar siswa dapat menelaah perasaannya sendiri sebelum ia mendengar respons orang lain untuk dibandingkan.

d.Mengajak siswa untuk menganalisis respons orang lain serta membuat kategori dari setiap respons ang diberikan siswa.

e.Mendorong siswa untuk merimuskan akibat atau konsekuensi dari setiap tindakan yang diusulkan siswa. Siswa diajak berfikir keras dan harus dapat menjelaskan argumennya secara terbuka serta dapat saling menghargai pendapat orang lain.

f.Mengajak siswa untuk memandang permasalahan dari berbagai sudut pandang untuk menambah wawasan agar mereka dapat menimbang sikap tertentu sesuai dengan nilai yang dimilikinya.

g.Mendorong siswa agar merumuskan sendiri tindakan yang harus dilakukan sesuai dengan pilihannya berdasarkan pertimbangannya sendiri. Guru hendaknya tidak menilai benar atau salah atas pilihan siswa. Yang diperlukan nadalah guru dapat membimbing mereka menentukan pilihan yang lebih matang sesuai dengan pertimbangannya sendiri.

2.Model Pengembangan Kognitif

Model pengembangan kognitif (the cognitive development model) dikembangkan oleh Lawrence Kohlberg. Model ini banya diilhami oleh pemikiran John Dewey dan Jean Piaget yang berpendapat bahwa perkembangan manusia terjadi sebagai proses dari restrukturisasi kognitif yang berlangsung secara berangsur-angsur menurut urutan tertentu. Menurut Kohlberg, moral manusia itu berkembang melalui 3 tingkat, dan setiap tingkat terdiri dari 2 tahap. Tingkat-tingkat tersebut antara lain :

A. Tingkat Prakonvensional

Pada tingkat ini setiap individu memandang moral berdasarkan kepentingannya sendiri. Artinya pertimbangan moral didasarkan pada pandangannya secara individual tanpa menghiraukan rumusan dan aturan yang dibuat oleh masyarakat. Pada tingkat ini dibagi dua tahap yaitu Tahap orientasi hukuman dan kepatuhan, perilaku anak didasarkan kepada konsekuensi fisik yang akan terjadi. Anak hanya berfikir bahwa perilaku yang benar adalah perilaku yang tidak akan mengakibatkan hukuman. Jadi peraturan harus dipatuhi agar tidak timbul konsekuensi negatif; Tahap orientasi instrumental-relatif, perilaku anak didasarkan kepada rasa “adil” berdasarkan aturan permainan yang telah disepakati. Dikatakan adil manakala orang membalas perilaku kita yang dianggap baik. Dengan demikian perilaku itu didasarkan kepada saling menolong dan saling memberi.

B.Tingkat KonvensionalDalam tahap ini anak mendekati masalah didasarkan pada hubungan individu-masyarakat. Pemecahan masalah bukan hanya didasarkan pada rasa keadilan belaka, akan tetapi apakah pemecahan masalah itu sesuai dengan norma masyarakat atau tidak.

( M. Sugeng Haryono, SE, S.Pd Telp (0358) 6164165 / 085649032021 / 08883443848 / 081259718187 )