Kamis, 04 Juni 2009

Konstruktivisme...Masihkah Relevan ?

KONSEP BELAJAR KONSTRUKTIVISTIK

Oleh : Mohamad Sugeng Haryono, SE

(Guru SMP Islam Baitul ‘Izzah Nganjuk, Jawa Timur)

Belajar menurut perspektif konstruktivistik adalah pemaknaan pengetahuan. Hal tersebut berdasarkan asumsi pengetahuan bukanlah gambaran dunia kenyataan belaka tetapi selalu meripakan konstruksi kenyataan melakukan kegiatan subyek. Mind berfungsi sebagai alat menginterpretasi sehingga muncul makna yang unik.

Konstruktivistik menekankan pada belajar sebagai pemaknaan pengetahuan structural, bukan pengetahuan deklaratif sebagaimana pandangan behavioristik. Pengetahuan dibentuk oleh individu secara personal dan sosial. Pemikiran konstruktivisme bersifat personal dikemukakan oleh Jean Piaget. Perspektif konstruktivisme sosial dikemukakan oleh Vygotsky.

Berdasarkan proposisi-proposisi tersebut diatas, apa implikasinya dalam kegiatan belajar mengajar ? Coba anda refleksikan bagaimana anda mengajar selama ini. Apakah anda telah mengorganisasikan pembelajaran berdasarkan konstruktivistik ? Bandingkan hasil refleksi anda dengan rumusan-rumusan dibawah ini :

Belajar berdasarkan konstruktivistik menekankan pada proses perubahan konseptual (conceptual-change process). Hal ini terjadi pada diri siswa ketika peta konsep yang dimilikinya dihadapkan dengan situasi dunia nyata. Dalam proses ini siswa melakukan analisis, sintesis, berargumentasi, mengambil keputusan, dan menarik kesimpulan sekalipun bersifat tentatif. Konstruksi pengetahuan yang dihasilkan bersifat viabilitas artinya konsep yang telah terkonstruksi bisa jadi tergeser oleh konsep lain yang lebih dapat diterima.

Driver dan Oldham memberikan strategi pembelajaran konstruktivitik sebagai berikut :

1. Orientasi, merupakan fase untuk memberi kesempatan kepada siswa memperhatikan dan mengembangkan motivasi terhadap topik materi pembelajaran.

2. Elicitasi, merupakan fase untuk membantu siswa menggali ide-ide yang dimilikinya dengan memberi kesempatan kepada siswa untuk mendiskusikan atau menggambarkan pengetahuan dasar atau ide mereka melalui poster, tulisan yang dipresentasikan kepada seluruh siswa.

3. Restrukturisasi ide, dalam hal ini siswa melakukan klarifikasi ide dengan cara mengkontraskan ide-idenya dengan ide orang lain atau teman melalui diskusi. Berhadapan dengan ide-ide lain, seseorang dapat terangsang untuk merekonstruksi gagasannya, kalau tidak cocok. Sebaliknya menjadi lebih yakin jika gagasannya cocok. Membangun ide baru, hal ini terjadi jika dalam diskusi idenya bertentangan dengan ide lain atau idenya tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan teman-temannya. Mengevaluasi ide barunya dengan eksperimen. Jika dimungkinkan, sebaiknya gagasan-gagasan yang baru dibentuk itu diuji dengan suatu percobaan atau persoalan yang baru.

4. Aplikasi ide, dalam langkah ini ide atau pengetahuan yang telah dibentuk siswa perlu diaplikasikan pada bermacam-macam situasi yang dihadapi. Hal ini akan membuat pengetahuan siswa lebih lengkap bahkan lebih rinci.

5. Review, dalam fase ini memungkinkan siswa mengaplikasikan pengetahuannya pada situasi yang dihadapi sehari-hari, merevisi gagasannya dengan menambah suatu keterangan atau dengan cara mengubahnya menjadi lebih lengkap. Jika hasil review kemudian dibandingkan dengan pengetahuan awal yang telah dimiliki, maka akan memunculkan kembali ide-ide (elicitasi) pada diri siswa. (M. Sugeng Haryono - 03586164165)

Kognitif... Sebuah Proses Belajar yang Membangun

KONSEP BELAJAR KOGNITIF

Oleh : Mohamad Sugeng Haryono, SE

(Guru SMP Islam Baitul ‘Izzah Nganjuk, Jawa Timur)

Dalam perspektif teori kognitif, belajar merupakan peristiwa mental, bukan peristiwa behavioral, meskipun hal-hal yang bersifat behavioral tampak lebih nyata hampir dalam setiap peristiwa belajar. Perilaku siswa bukan semata-mata respon terhadap yang ada, melainkan yang lebih penting karena dorongan mental yang diatur oleh otaknya. Belajar adalah proses mental yang aktif untuk mencapai, mengingat, dan menggunakan pengetahuan. Belajar menurut teori kognitif adalah perceptual. Tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya. Belajar merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku yang tampak. Teori kognitif menekankan belajar sebagai proses internal. Belajar adalah aktifitas yang melibatkan proses berfikir yang sangat kompleks.

Konsep-konsep terpenting dalam teori kognitif selain perkembangan kognitif adalah adaptasi intelektual oleh Jean Piaget, discovery learning oleh Jerome Bruner, reception learning oleh Ausubel.

Perkembangan kognitif yang digambarkan oleh Piaget merupakan proses adaptasi intelektual. Proses adaptasi tampak pada asimilasi dan akomodasi, equilibration. Asimilasi ialah proses perubahan apa yang dipahami sesuai dengan struktur kognitif (skemata) yang ada sekarang. Asimilasi adalah proses pengintegrasian informasi baru ke dalam struktur kognitif yang telah dimiliki oleh individu. Akomodasi adalah proses penyesuaian struktur kognitif kedalam situasi. Equilibration adalah pengaturan diri secara mekanis untuk mengatur keseimbangan proses asimilasi dan akomodasi. Dengan demikian proses belajar terjadi jika mengikuti tahap-tahap tersebut.

Perkembangan kognitif menurut Bruner terjadi melalui 3 tahap yaitu enaktif (melakukan aktifitas memahami lingkungan), ikonik (memahami obyek melalui gambar dan visualisasi verbal), dan simbolik (memiliki ide abstrak yang dipengaruhi oleh kemampuan berbahasa dan berlogika).

Jika Jean Piaget menyatakan bahwa perkembangan kognitif sangat berpengaruh terhadap perkembangan bahasa seseorang, maka Bruner menyatakan perkembangan bahasa besar pengaruhnya terhadap perkembangan kognitif. Dalam memahami dunia sekitarnya orang belajar melalui simbol bahasa, logika, matematika, dan sebagainya. Komunikasinya dilakukan dengan menggunakan banyak sistem simbol. Semakin matang seseorang dalam proses berfikirnya semakin dominan sistem simbolnya.

Perkembangan kognitif yang digambarkan oleh Bruner merupakan proses discovery learning. Proses belajar adalah penemuan konsep. Pemikiran ini bertolak pada pentingnya struktur mentransfer prinsip-prinsip dan sikap umum atau konsep yang merupakan dasar untuk mengenal permasalahan lain sebagai masalah khusus yang berhubungan dengan prinsip umum yang telah dikuasai.

Jika discovery learning merupakan pembelajaran induktif, maka reception learning merupakan pembelajaran deduktif. Salah satu konsep penting dalam reception learning adalah advance organizer sebagai kerangka konseptual tentang isi pelajaran yang akan dipelajari siswa.

Meskipun teori belajar social dari Albert Bandura menekankan pada perubahan perilaku melalui peniruan, banyak para pakar tidak memasukkan teori ini sebagai bagian dari teori belajar behavioristik. Sebab, Albert Bandura menekankan pada peran penting proses kognitif dalam pembelajaran sebagai proses membuat keputusan yaitu bagaimana membuat keputusan perilaku yang ditirunya menjadi perilaku miliknya. (M. Sugeng Haryono - 03586164165)

Media Pembelajaran. Pentingkah ?

MEDIA PEMBELAJARAN

Oleh : Mohamad Sugeng Haryono, SE

(Guru SMP Islam Baitul ‘Izzah Nganjuk, Jawa Timur)

Media berasal dari bahasa latin merupakan bentuk jamak dari “medium” yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar.

Media pembelajaran menurut :

1. Schramm (1977)

Teknologi pembawa pesan yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran.

2. Briggs (1977)

Sarana fisik untuk menyampaikan isi/materi pembelajaran seperti : buku, film, video, dsb.

3. National Education Association (1969)

Sarana komunikasi dalam bentuk cetak maupun pandang-dengar, termasuk teknologi perangkat keras.

Media Pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat menyalurkan pesan, dapat merangsang fikiran, perasaan dan kemauan peserta didik sehingga dapat mendorong terciptanya proses belajar pada diri peserta didik.

Perkembangan Media Pembelajaran menurut Brown (1973), media pembelajara yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran dapat mempengaruhi terhadap efektifitas pembelajaran. Pada mulanya, media pembelajaran hanya berfungsi sebagai alat bantu guru untuk mengajar yang digunakan adalah alat bantu visual. Sekitar pertengahan abad ke-20 usaha pemanfaatan visual dilengkapi dengan digunakannya alat audio, sehingga lahirlah alat Bantu audio-visual. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya dalam bidang pendidikan, saat ini penggunaan alat bantu atau media pembelajaran menjadi semakin luas dan interaktif, seperti adanya computer dan internet.

Media memiliki beberapa fungsi :

- Media pembelajaran dapat mengatasi keterbatasan pengalaman yang dimiliki oleh para peserta didik.

- Media pembelajaran dapat melalui batasan ruang kelas.

- Media pembelajaran memungkinkan adanya interaksi langsung antara peserta didik dengan lingkungannya.

- Media menghasilkan keseragaman pengamatan.

- Media dapat menanamkan konsep dasar yang benar, konkrit dan realistis.

- Media membangkitkan keinginan dan minat baru.

- Media membangkitkan motivasi dan merangsang anak untuk belajar.

- Media memberikan pengalaman yang integral/menyeluruh dari yang konkrit sampai dengan abstrak.

Jenis media belajar :

1. Media visual : grafik, diagram, chart, bagan, poster, kartun, komik.

2. Media audial : radio, tape recorder, laboratorium bahasa dan sejenisnya.

3. Projected still media : slide, OHP (over head projector), in focus dan sejenisnya.

4. Projected motion media : film, televise, video, komputer dan sejenisnya.

Bagaimana memilih media ?

Kriteria yang paling utama dalam pemilihan media bahwa media harus disesuaikan dengan tujuan pembelajaran atau kompetensi yang ingin dicapai. Jika tujuan atau kompetensi yang dicapai bersifat memahami isi bacaan maka media cetak yang lebih tepat digunakan. Kalau tujuan pembelajaran bersifat motorik (gerak dan aktifitas), maka media dari film dan video bisa digunakan. Disamping itu, terdapat kriteria lainnya yang bersifat melengkapi (komplementer), seperti : biaya, ketepatgunaan, keadaan peserta didik, ketersediaan dan mutu teknis.(M. Sugeng Haryono - 03586164165)

Konsep Belajar Behavioristik

KONSEP BELAJAR BEHAVIORISTIK

Oleh : Mohamad Sugeng Haryono, SE

(Guru SMP Islam Baitul ‘Izzah Nganjuk, Jawa Timur)

Penerapan konsep belajar Aktif, inovatif,kreatif, efektif, dan menyenangkan tidak serta merta dapat dilakukan jika siswa belum memiliki stock of knowledge atau prior knowledge dari hal yang sedang dipelajarinya.

Pemberian pengalaman belajar sebagai previous experience sangat dibutuhkan. Teori behavioristik memiliki andil besar terhadap hal tersebut. Proposisi-proposisi behavioristik menjadi landasan logis pengorganisasian pembelajaran yang beraksentuasi pada terbentuknya prior knowledge.

Belajar menurut perspektif behavioristik adalah perubahan perilaku sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungannya. Proses interaksi tersebut merupakan hubungan antara stimuli dan respon. Muara belajar adalah terbentuknya kebiasaan. Bagaimana kebiasaan terbentuk?

Watson mengemukakan ada 2 (dua) prinsip dalam pembentukan kebiasaan yaitu kekerapan dan kebaruan. Prinsip kekerapan menyatakan bahwa makin kerap individu bertindak balas terhadap suatu stimuli, apabila kelak muncul lagi stimuli itu, maka akan lebih besar kemungkinan individu memberikan respon yang sama terhadap stimuli tersebut. Prinsip kebaruan menyatakan bahwa jika individu membuat tindak balas yang baru terhadap stimuli, maka apabila kelak muncul lagi stimuli itu, besar kemungkinan individu akan bertindak balas dengan cara yang serupa terhadap stimuli tersebut.

Edwin Guthrie berdasarkan konsep contiguity menyatakan bahwa suatu kombinasi stimuli yang dipasangkan dengan suatu gerakan, akan diikuti oleh gerakan yang sama apabila stimuli tersebut muncul kembali. Pergerakan ini diperoleh melalui latihan. Guthrie juga mengemukakan prinsip tentang pembinaan dan perubahan kebiasaan. Pada dasarnya pembinaan dan perubahan kebiasaan dapat dilakukan melalui threshold method (metode ambang), the fatigue method (metode meletihkan), dan the incompatible response method (metode rangsangan tidak serasi).

Metode ambang adalah metode mengubah tindak balas dengan menurunkan atau meningkatkan stimuli secara berangsur. Metode meletihkan adalah menghilangkan tindak balas yang tidak diinginkan dengan menggalakkan individu mengulangi tindak balas itu sampai akhirnya ia letih. Metode rangsangan tak serasi yaitu dengan memasangkan stimuli yang menimbulkan tindak balas yang tidak diinginkan.

Thorndike berpendapat bahwa belajar pada dasarnya merupakan pembinaan hubungan antara stimuli tertentu dengan respon tertentu. Semua proses belajar dilakukan dengan coba-salah (trial dan error). Ada tiga hukum dalam hal tersebut yaitu :

1. Hukum hasil (law of effect);

Hukum hasil menyatakan bahwa hubungan antara stimuli dengan respon akan makin kukuh apabila terdapat kepuasan, dan sebaliknya.

2. Hukum latihan (law of exercise);

Hukum latihan menyatakan bahwa suatu hubungan antara stimuli dan respon akan makin kukuh apabila sering dilakukan latihan.

3. Hukum kesiapan (law of readiness);

Hukum kesiapan menyatakan bahwa hubungan antara stimuli dan respon akan menjadi kukuh jika disertai dengan kesiapan individu dalam belajar.

Skinner menyatakan bahwa peneguhan (reinforcement) memegang peran penting dalam mewujudkan tindak balas baru. Peneguhan diartikan sebagai suatu konsekuensi perilaku yang memperkuat perilaku tertentu.

Berdasarkan proposisi-proposisi dari para teoristi tersebut diatas, apa implikasinya dalam kegiatan belajar mengajar? Coba anda refleksikan bagaimana anda mengajar selama ini dan cocokkan hasil refleksi itu dengan pernyataan-pernyataan dibawah ini !

Kegiatan belajar mengajar berdasarkan prinsip-prinsip behavioristik merupakan kegiatan belajar figurative. Belajar seperti ini hanya menekankan perolehan informasi dan penambahan informasi. Belajar merupakan proses dialog imperative, bukan dialog interaktif. Belajar bukan proses organic dan konstruktif melainkan proses mekanik. Aktifitas belajar didominasi oleh kegiatan menghafal dan latihan.

Kelemahan dari teori ini adalah :

1. Proses belajar dipandang sebagai kegiatan yang diamati langsung, padahal belajar adalah kegiatan yang ada dalam system syaraf manusia yang tidak terlihat kecuali melalui gejalanya;

2. Proses belajar dipandang bersifat otomatis-mekanis sehingga terkesan seperti mesin atau robot, padahal manusia mempunyai kemampuan self regulation dan self control yang bersifat kognitif. Sehingga, dengan kemampuan ini, manusia bisa menolak kebiasaan yang tidak sesuai dengan dirinya.

3. Proses belajar manusia yang dianalogikan dengan hewan sangat sulit diterima, mengingat ada perbedaan yang cukup mencolok antara hewan dan manusia.(M. Sugeng Haryono - 03586164165)