Minggu, 15 November 2009

PERKEMBANGAN KECERDASAN MANUSIA

Oleh : Mohamad Sugeng Haryono, SE, S.Pd

( Pemerhati Masalah Pendidikan )

Kecerdasan berdasar dari kata inteligensi. Inteligensi merupakan suatu kata yang memiliki makna sangat abstrak. Tidak seperti kata tinggi, berat atau umur. Walaupun nampak abstrak, telah banyak para ahli psikologi yang telah mencoba mengembangkan teorinya dalam memahami inteligensi.

Pada hakekatnya ada dua pandangan yang berkembang dalam memahami inteligensi :

A. Inteligensi Sebagai Faktor Tunggal

Tokoh yang mengembangkan pandangannya terhadap inteligensi sebagai faktor tunggal adalah Jensen, Ebbinghaus, dan Terman. Jensen (1979) mengartikan inteligensi sebagai kemampuan mental umum (general mental ability). Ebbinghaus (Rochmat Wahab, 1987) menyatakan bahwa inteligensi sebagai kemampuan untuk membuat kombinasi, sedangkan Terman mengemukakan bahwa inteligensi adalah kemampuan untuk berfikir abstrak.

Selanjutnya dijelaskan bahwa inteligensi merupakan suatu kemampuan multipel. Hal ini diperkuat oleh pendapat Kail dan Pallegreno (Stantrock and Yussen), 1992) yang menegaskan bahwa inteligensi itu dapat dijelaskan dengan terminologi pengetahuan dan penalaran. Semetara itu Robert Stenberg (1982) mengemukakan bahwa pada prinsipnya ada tiga karakteristik utama yaitu kemampuan verbal, pemecahan masalah praktis, dan kemampuan sosial. Hordward Gardner (1983) menegaskan bahwa inteligensi seharusnya didefinisikan sebagai seperangkat kemampuan untuk memproses operasi yang memungkinkan individu mampu memecahkan masalah, menciptakan produk, menemukan pengetahuan yang baru selama dalam kegiatan yang bermuatan nilai secara kultural. Oleh karena itu karakteristik yang menggambarkan intelegensi yaitu kemampuan dibidang linguistik, logika-matematik, musik, keruangan, kinestetik- motorik, interpersonal dan intrapersonal.

Berdasarkan rumusan-rumusan tersebut diatas, maka dapat ditarik suatu benang merah bahwa secara umum kecerdasan (inteligensi) dapat didefinisikan sebagai suatu konsep abstrak yang diukur secara tidak langsung oleh para psikolog melalui tes intelegensi untuk mengestimasi proses intelektual. Komponen utama inteligensi adalah kemampuan verbal, ketrampilan pemecahan masalah, kemampuan belajar dan kemampuan beradaptasi dengan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari.

Inteligensi adalah kesanggupan mental untuk memahami, menganalisis secara kritis, cermat dan teliti serta menghasilkan ide-ide baru secara efektif dan efisien.

Laure E. Berk (1994) menegaskan bahwa karakteristik inteligensi itu dapat bervariasi antara satu kelompok dengan kelompok usia lainnya. Menurut Sigler dan Richards (1980) bahwa ada 5 sifat yang berbeda antara satu kelompok dengan kelompok usia lain tentang karakteristiknya.

Tabel Perbedaan Karakteristik Inteligensi Dilihat dari Perbedaan Usia

6 bulan

2 tahun

10 tahun

Dewasa

1. Mengenal orang dan obyek

1. Kemampuan verbal

1. Kemampuan verbal

1. Penalaran

2. Koordinasi moto-rik

2. Kemampuan belajar

2.3.4. Kemampuan be-lajar, pembentukan motorik, penalaran (ketiganya saling terkait)

2. Kemampuan ver-bal

3. Kecermatan

3. Kesadaran terhadap orang dan lingku-ngan

3. Pemecahan masa-lah

4. Kesadaran terha-dap lingkungan

4. Koordinasi motorik

4. Kemmpuan belajar

5. Verbalisasi

5. Keingintahuan

5. Kreativitas

5. Kreativitas

( Mohamad Sugeng Haryono, SE, S.Pd – HP. 085649032021 )

B. Teori Kecerdasan

Untuk mendefinisikan hakekat inteligensi terdapat berbagai perbedaan, Hal ini disebabkan oleh perbedaan pengertian dasar dalam memandang dan mengamati apa yang disebut perilaku inteligen. Teori yang dipakai acuan untuk mendefinisikan hakekat inteligensi (Subino Hadisubroto, 1984; Moh. Surya, 1979) yaitu meliputi teori keturunan lingkungan, epistimologis-biologis, struktural dan faktorial.

1. Teori Keturunan-lingkungan

Teori ini dibagi lagi menjadi tiga yaitu :

a. Yang memandang bahwa inteligensi lebih ditentukan oleh keturunan daripada oleh lingkungan. Empat tokoh yang memperkuat teori ini adalah Arthur R. Jensen (1969) yang menyimpulkan dari hasil penelitiannya bahwa inteligensi itu lebih ditentukan oleh keturunan daripada lingkungannya. Sir Cyril Burt (1955) memandang bahwa inteligensi itu sebagai kemampuan berfikir umum yang dibawa sejak lahir. Woodrow (Butcher, 1973) memandang bahwa inteligensi sebagai kapasitas bawaan. David Wechsler (1943) juga memndang bahwa inteligensi itu sebagai kapasitas bawaan serta kapasitas yang bulat untuk bertindak secara terarah, berfikir rasional, dan berhubungan dengan lingkungannya secara efektif.

b. Yang memandang inteligensi sebagai yang lebih ditentukan oleh lingkungan daripada keturunan. Tokohnya adalah Jerome S. Kegan (1969) yang didasarkan pada pengamatannya terhadap anak-anak kulit putih lapisan bawah dan menengah, sewaktu mengerjakan tes inteligensi. Kegan melihat bahwa anak-anak lapisan bawah bekerja kurang baik apabila dibandingkan dengan anak-anak lapisan menengah.

c. Yang memandang inteligensi sebagai hasil keturunan, lingkungan, dan interaksi antara keduanya. Berdasarkan teori ini yang tokoh-tokohnya diantaranya Crow (1972), Hilgard (1962), Ross (1974) da Clark (1983) konsepnya dapat dirumuskan bahwa perkembangan intelektual merupakan hasil interaksi antara pola genetis dan pengaruh lingkungan.

2. Teori Epistimologis-biologis

Teori ini dibagi menjadi dua yaitu :

a. Yang memandang bahwa inteligensi sebagai kemampuan berfikir jernih, analitis dan komprehensip. Tokohnya antara lain Lewis M. Terman (Butcher, 1973) yang memndang bahwa inteligensi itu disarikan sebagai kemampuan abstrak. Kemudian G.D. Stoddard (1943) yang menyatakan bahwa inteligensi itu merupakan kemampuan majemuk, yakni kemampuan menyelesaikan tugas-tugas yang sulit, rumit, abstrak, ekonomis, adaptif terhadap tujuan, berbobot sosial dan original, serta tetap memelihara kemampuan menyelesaikan tugas-tugas seperti itu didalam kedaan yang menuntut pemusatan energi dan menahan gejolak-gejolak emosional. Henry E. Garret (1946) yang menyatakan bahwa inteligensi paling sedikit sebagai kemampuan-kemampuan yang diperlukan untuk memecahkan persoalan-persoalan yang menuntut pemahaman dan penggunaan simbol-simbol, baik berupa kata-kata, angka-angka, diagram-diagram, persamaan-persamaan maupun rumus-rumus yang meyatakan gagasan-gagasan dan hubungan berbagai hal dari yang sederhana sampai yang sangat rumit.

b. Yang memendang inteligensi sebagai kemampuan menyesuaikan diri terhadap situasi yang baru (biologis). Jean Piaget (1956) yang menyatakan bahwa inteligensi adalah kemampuan melakukan penyesuaian diri terhadap lingkungan. Williem Ster berpendapat bahwa inteligensi itu merupakan kemampuan personal untuk dapat menghadapi tuntutan-tuntutan baru dengan menggunakan alat-alat berfikir secara efisien.

3. Teori Struktural

Dibagi menjadi dua model yaitu :

a. Model Struktural Guilford

Model ini sering dikenal dengan sebutan The Structure of Intellect yang mula-mula dikembangkan oleh Guilford tahun 1959 dan disempurnakan tahun 1966. Dalam teori ini, ia membedakan berfikir konvergentif dengan divergentif. Tes yang mengukur sisi konvergentif menghendaki tes ini mencari satu jawaban betul atas suatu persoalan. Sisi inilah yang disebut Guilford dengan nama kecerdasan. Sedangkan tes yang mengukur sisi divergentif menghendaki tes ini mencari sejumlah alternatif jawaban atas suatu persoalan dimaksudkan untuk mengukur suatu kemampuan berfikir divergentif atau yang sering disebut kreatifitas. Guilford berpendapat bahwa intelegensi itu dibangun atas tiga domain (matra) yaitu operasi, isi, dan hasil.

b. Model Facet Guttman

Guttman (Subino hadisubroto, 1984) mengemukakan bahwa ia sangat terkesan oleh kenyataan bahwa dengan pemilihan tes yang cermat, maka orang dapat memperoleh matriks korelasi antar tes yang memiliki koefisien-koefisien korelasi sama pada dua belahan geometrik yang dibelah oleh garis diagonal. Dengan menggunakan prinsip-prinsip analisis matrik korelasi tersebut, Guttmann meyimpulkan bahwa ada tiga kategori tes inteligensi, yakni tes yang disusun didalam bentuk gambar-gambar, simbol-simbol dan kata-kata bermakna. Menurut Guttman model tersebut belum lengkap. Untuk melengkapinya Guttman mengusulkan butir-butir soal analitis dan prestasi belajar ke dalam tes inteligensi tersebut.

4. Teori faktorial

Teori faktorial ini mempunyai berbagai variasi anatara lain :

a. Teori satu - faktor Binet

Teori ini berpendapat bahwa inteligensi itu terbangun atas satu faktor saja, yaitu faktor “G” saja (Freeman, 1965). Yang dimaksudkan dengan faktor “G” disini adalah faktor kemampuan umum (general ability).

b. Teori dua – faktor Spearman

Teori ini berpendapat bahwa inteligensi itu terbangun atas dua faktor, yaitu faktor general ability (“G”) dan special ability (“S”). Teori dua faktor Helpzinger merupakan variasi dan teori Spearman. Dia berpendapat bahwa tes yang tidak memenuhi syarat proporsionalitas tidak perlu dipandang sebagai pengganggu dan harus dibuang dari tes yang bersangkutan, sepanjang bagian-bagian tes lainnya dari tes tersebut memiliki faktor kebersamaan yang sama.

c. Teori bertingkat Philip E. Vernon

Teori ini mirip dengan konsepsi Spearman. Menurut Vernon (Subino Hadisubroto, 1984), bahwa dibawah faktor “G” itu terdapat dua faktor kelompok utama (major group factors) yang masing-masingmya adalah faktor pendidikan verbal (verbal educational factors) dan faktor praktis (practical factors). Yang pertama dibagi kedalam dua faktor kelompok minor (minor-group factors), yakni verbal dan numerical; sedangkan yang kedua dibagi menjadi kemampuan keruangan (spatial ability), kemampuan manual (manual ability), dan kemampuan mekanik (mechanical ability). Masing-masing bagian tersebut dibagi lagi menjadi faktor-faktor spesifik yang sangat besar jumlahnya dan mencakup lingkup yang sangat khusus.

d. Teori tiga faktor Sternberg atau Sternberg’s Triarchic Theory

Teori ini (Laura E.Berk, 1994) dibangun melalui tiga sub-teori yang berinteraksi secara fungsional, yaitu sub teori komponensial, sub teori eksperiensial, dan sub teori kontekstual. Teori ini menegaskan bahwa ketrampilan memproses informasi, pengalaman terdahulu yang berkaitan dengan tugas, dan faktor-faktor kontekstual atau kultural itu berinteraksi untuk menentukan perilaku yang inteligen. Sub teori komponensial lebih mengekspresikan tentang metakognisi, aplikasi strategi, dan pemerolehan pengetahuan. Sub teori eksperiensial menyatakan bahwa individu yang berinteligensi tinggi dibandingkan dengan individu yang berinteligensi rendah digambarkan pada kemampuan mengolah informasi lebih terampil didalam situasi yang baru, meyelesaikan tugas baru relatif lebih cepat, dan mampu menyelesaikan tugas yang lebih kompleks dan cara yang lebih otomatis. Sub teori kontekstual menjelaskan bahwa orang-orang yang inteligen itu lebih terampil dalam mengadaptasikan (adapting) keterampilan memproses informasi dengan tuntutan pribadi dan tuntutan dari kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, ketika mereka itu tidak dapat mengadaptasikan dengan situasi, mereka mencoba untuk membentuk (shaping) atau mengubahnya, sehingga dapat memenuhi kebutuhan. Jika mereka tidak dapat membentuknya, maka mereka menyeleksi (selecting) konteks-konteks yang baru yang konsisten dengan tujuannya. Dengan kata lain, sub teori kontekstual menekankan bahwa perilaku inteligen itu tidak pernah bebas budaya (cultural-free).

e. Teori inteligensi multipel Gardner atau Gardner’s Theory of Multiple Intelligences.

Teori ini mengidentifikasikan tujuh kecerdasan yang berbeda berdasarkan seperangkat processing operatioons yang diterapkan dalam kegiatan-kegiatan yang bermakna secara kultural (yaitu linguistik, logika-matematik, musikal, kinestetik, interpersonal, dan intrapersonal). Kecerdasan liguistik (Linguistic Intelligence) menggambarkan tentang sensitivitas terhadap suara, ritme, makna, kata-kata dan fungsi-fungsi bahasa yang berbeda. Misalnya : penyair dan jurnalis. Kecerdasan logika-matematik (Logico-mathematical Inteeligence) menunjukkan tentang sensitivitas terhadap dan kemampuan menditeksi, pola-pola logik atau numerikal; kemampuan mengatasi rangkaian panjang penalaran logik, misalmya ahli matematik dam saintis. Kecerdasan musikal (Musical Intelligence) yang menunjukkan kemampuan menghasilkan dan menghargai sentuhan, ritme (melodi), dan bunyi suara estetik; kemampuan memahami bentuk-bentuk ekspresi musik, misalnya : ahli biola, pianis dan pengarang lagu. Kecerdasan spasial (Spatial Intelligence) menggambarkan kemampuan memahami dunia ruang-visual secara tepat, menunjukkan transformasi persepsi-persepsi ini, dan menciptakan kembali aspek-aspek pengalaman visual ketika tidak ada rangsangan yang relevan, misalnya pematung dan pelaut. Kecerdasan kinestetik (Bodily-kinesthetic Intelligence) yang menunjukkan kemampuan untuk menggunakan tubuhnya secara terampil untuk mengekspresikan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan; kemampuan menangani obyek-obyek secara trampil, misalnya penari dan atlit. Kecerdasan interpersonal (Interpersonal Intelligence) menunjukkan kemampuan menditeksi dan merespon secara tepat terhadap suasana, temperamen, motivsi dan maksud orang lain, misalnya terapis dan penjaja. Kecerdasa intrapersonal (Intrapersonal Intelligence) menunjukkan kemampuan mendeskriminasi perasaan dari dalam yang kompleks dan menggunakannya untuk membimbing perilakunya sendiri; pengetahuan tentang kekuatan, kelemahan keinginan dan kecerdasan sendiri, misalnya orang yang teliti atau autodidak.

Berdasarkan deskripsi teori-teori diatas, kiranya sulit dikemukakan satu-satuanya rumusan definisi kecerdasan (inteligensi) yang tepat. Oleh karenanya rumusan definisi kecerdasan sangat tergantung pada teori mana yang relevan untuk kepentingan apa.( M. Sugeng Haryono, SE, S.Pd Telp. 0358 – 6164165 )

C. Klasifikasi Kecerdasan

Secara konvensional klasifikasi kecerdasan, dewasa ini masih mengikuti klasifikasi yang dikembangkan oleh Binet dan Simon, diantaranya pertama, retardasi mental yang meliputi idiot dengan IQ 30 kebawah, embisil dengan IQ 31-50, debil dengan IQ 51-70; kedua, slow-learner dengan IQ 71-90; ketiga, normal (rata-rata) dengan IQ 91-110; keempat, rapid-learner dengan IQ 111-130; dan kelima, gifted dengan IQ 131 ke atas.

Perlu disadari bahwa dewasa ini telah berkembang cara penghitungan dan distribusi skor IQ tradisional dan skor IQ modern (Laura E. Berk, 1994) :

1. Bahwa skor IQ tradisional sebagaimana yang dikembangkan oleh Stanford-Binet menjelaskan nahwa skor IQ itu diperoleh dengan mengkonversikan skor mentah dengan usia mental age (MA) yang menunjukkan usia anak berdasarkan skor yang diperoleh, Misalnya jika skor mentah rata-rata anak usia 8 tahun itu 40, maka skor mentah 40 itu sama dengan usia mental 8 tahun. Skor IQ dapat dihitung melalui membagi usia mental anak dengan usia kronologis atau chronological age (CA) dengan mengalikan dengan 100.

MA

IQ = x 100

CA

Anak yang mendapat diatas IQ 100 menunjukkan pada kelompok anak yang berkecerdasan diatas rata-rata, sedangkan anak yang mendapat skor dibawah IQ 100 menunjukkan pada kelompok yang berkecerdasan rendah.

Walaupuin pendekatan usia mental memberikan suatu cara yang relatif nyaman untuk membandingkan skor tes anak-anak, pendekatan ini sebenarnya memiliki dua kelemahan yaitu pertama, pendekatan ini mendorong orang yang tidak familiar dengan dasar skor akan menyimpulkan bahwa anak yang CA-nya 8 tahun dan MA-nya 12 tahun akan seperti anak yang berusia 12 tahun dalam segala hal, padahal yang relatif sama kan kemampuan akademiknya, sedangkan kemampuan sosial dipertanyakan. Kelemahan kedua yaitu perkembangan intelektual pada anak yang lebih muda itu cenderung lebih cepat daripada anak yang lebih tua. Perbedaan mental pada anak yang berusia 2-3 tahun jauh lebih besar daripada anak usia 10-11 tahun, sedangkan IQ yang berdasarkan formula ini tidak mendapat perhatian tersendiri.

2. Metode modern membedakan IQ secara langsung antara skor metah seorang anak dengan skor anak-anak lainnya yang berusia kronologis sama. Ini dapat disebut juga Deviation IQ, karena IQ-nya didasarkan pada penyimpangan tingkat kinerja anak dari rata-rata anak yang seusia. Ketika tes disusun berdasarkan sampel individu yang representatif, kinerja setiap tingkat usia untuk sebagian besar skornya jatuh mendekati pusar (rata-rata) dan semakin sedikit menuju ke ekstrim kanan dan kiri, sehingga wujudnya seperti kurva normal. Dua hal yang penting dari kurva ini, yaitu rata-rata (mean) dan simpangan (deviation) yang memberikan ukuran variabilitas skor dari rata-rata.

Sebagian besar tes mengkonversikan skor mentahnya pada rata-rata 100 dan SD-nya 15. Berdasarkan angka ini dapat ditemukan prosentase individu yang ada pada skor IQ tertentu. Anak yang ber IQ 100 lebih baik daripada 50% anak yang berusia sama. Sedangkan anak yang ber-IQ 115 berkedudukan lebih baik daripada 84% anak yang berusia sama. Metode modern ini dirancang untuk mengganti pendekatan MA, karena metode ini memungkinkan dapat mengadakan perbandingan langsung kinerja anak dengan sampel yang representatif dengan anak sebaya.

D. Faktor Kecerdasan dalam Belajar dan Perkembangan Anak

Pada dasarnya kemampuan manusia dapat dibedakan atas kemampuan intelektual dan kemampuan non-intelektual. Demikian juga kemampuan intelektual ada yang bersifat potensial dan aktual. Kemampuan inelektual potensial dapat dipresentasikan dengan kecerdasan atau inteligensi, sedangkan kemampuan intelektual aktual sering digambarkan dengan prestasi belajar. Bila ditelaah lebih jauh, prestasi belajar berkaitan erat dengan kecerdasan (inteligensi) bahkan prestasi belajar sangat ditentukan oleh faktor kecerdasan. Tylor (1974) menegaskan bahwa “Intelligence should not be defined as general learning ability, but it is clearly related to school success and to the kinds of life achievement that are dependent on schooling”.(Kecerdasan seharusnya tidak didefinisikan sebagai kemampuan belajar umum, melainkan kecerdasan itu secara jelas berkaitan dengan keberhasilan sekolah dan berbagai jenis prestasi hidup yang tergantung pada pendidikan).

Ada sejumlah hasil penelitian yang memperkuat pendapat tersebut diatas.

1. Studi Lyn Lyn Michell dan R.D. Lambourne (Subino Hadisubroto, 1984), menyimpulkan bahwa pertama, kelompok cerdas mampu bertahan berdiskusi loebih lama dengan kognitif lebih tinggi dan mampu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang lebih berbobot; kedua, kelompok cerdas mampu mengemukakan gagasannya yang lebih tentatif dan lebih kaya; dan ketiga, kelompok cerdas lebih mampu mencapai tingkat pemahaman yang lebih rumit dan lebih kaya.

2. Henderson dkk. (1976) melalui studinya berkesimpulan bahwa kecerdasan berkorelasi positif dengan prestasi belajar. Demikian juga Entwisle dan Hayduk (1981:188) melaporkan bahwa inteligensi akan membentuk penampilan awal siswa dan selanjutnya akan menentukan penampilan akademiknya.

3. Korelasi antara hasil tes Wechler dengan prestasi siswa yang dilakukan oleh Soedarsono (1985) pada siswa SD Negeri dan Swasta di Indonesia tahun 1984 dalam disertasinya dilaporkan bahwa koefisien korelasi inteligensi dengan prestasi Bahasa Indonesi sebesar 0,518, IPS sebeesar 0,528, IPA sebesar 0,505, dan Matematika sebesar 0,587 yang semuanya signifikan pada taraf signifikasi 0,001.

4. Studi yang dilakukan oleh Nason (Moh. Surya, 1979), menemukan bahwa koefisien korelasi antara inteligensi dengan prestasi belajar sebesar 0,34 untuk laki-laki dan 0,39 untuk perempuan.

Berdasar uraian tersebut diatas kiranya dapat ditegaskan lagi bahwa faktor kecerdasan dapat berperan sebagai predikator yang berarti terhadap belajar dan prestasi belajar anak. Mengapa demikian? Laura E. Berk (1994) menjelaskan bahwa pertama, IQ dan prestasi belajar bergantung pada proses penalaran abstrak yang sama yang melandasi faktor “G” Spearman. Seorang anak yang memiliki kemampuan “G” faktor, cenderung mampu secara lebih baik memperoleh pengetahuan dan ketrampilan yang diajarkan disekolah. Kedua, inteligensi dan prestasi diambil dari kutub yag sama dari informasi spesifik secara kultural. Maksudnya bahwa tes inteligensi sebagiannya sama dengan tes prestasi, dan pengalaman masa lalu anak mempengaruhi penampilannya pada kedua tes.

Walaupun IQ berkontribusi terhadap prestasi belajar, faktor kecerdasan bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan keberhasilan belajar anak, karena hubungan keduanya sangatlah kompleks, bahkan sangat ditentukan oleh berbagai faktor lainnya, misalnya motivasi dan karakteristik kepribadiannya.

Selanjutnya, bagaimana dengan perkembangan kecerdasan anak? Kiranya tidaklah dapat diragukan bahwa intervensi sejak dini (baik dilingkungan keluarga maupun di sekolah) memiliki sumbangan yang berarti bagi perkembangan kecerdasan anak. Laura E. Berk (1994) mengemukakan dua hasil studi yang memberikan dukungan terhadap pentingnya intervensi dini. Pertama, bahwa proyek Head Start memiliki pengaruh yang minimal terhadap kecerdasan anak dan prestasi belajarnya. Dinyatakan bahwa ketidakefektifan proyek ini disebabkan oleh kekurangtepatan penyusunan program pada subyek kontrol dan perlakuan. Perlu diketahui bahwa subyek studi dalam proyek ini berasal dari keluarga yang berekonomi rendah. Sementara itu melalui temuan Jensen (1969) dinyatakan bahwa tingkat kecerdasan anak yang rendah pada keluarga miskin sebagian besar dipengaruhi oleh keturunan dan sangat sulit untuk diubah. Kedua, studi yang bersifat longitudinal, yang dikoordinasikan oleh konsorsium. Hasil studi menunjukkan bahwa anak-anak yang mendapatkan perlakuan cenderung menunjukkan skor IQ dan prestasi belajar lebih tinggi daripada kelompok kontrol dini pada dua sampai tiga tahun pertama di SD. Setelah itu, perbedaan skor tes menurun. Walaupun demikian, anak-anak yang mendapatkan intervensi tetap akan mengalami kemajuan ketika berada disekolah hingga mencapai dewasa. Stephen Cecci (1990, 1991) menegaskan bahwa kehadiran anak di sekolah secara tidak teratur menimbulkan pengaruh yang lebih besar terhadap IQ. Sebaliknya anak yang mendapatkan perlakuan disekolah lebih teratur, maka akan mendapatkan kenaikan poin dari 10 hingga 30. Demikia juga halnya anak yang memasuki sekolah lebih lambat, maka tingkat kecerdasannya akan turun sekitar 7 poin.

Bertitik tolak dari kondisi tersebut, Cecci (1991) menegaskan bahwa, sekolah dapat berpengaruh positif terhdap tingkat kecerdasan, paling tidak melalui tiga cara, yaitu mengajar anak tentang pengetahuan faktual sesuai denmga pertanyaan yang diujikan; mempromosikan ketrampilan memproses informasi seperti strategi mengingat dan katagorisasi melalui item-item tes; dan mendorong sikap dan nilai yang mampu memelihara kinerja dalam menyelesaikan ujian secara sukses, sperti medengarkan dengan sungguh-sungguh pertanyaan orang dewasa (guru), menjawab dengan ketentuan waktu dan mencoba bekerja keras. (M. Sugeng Haryono, SE, S.Pd Telp. 085649032021)

Minggu, 18 Oktober 2009

Afektif Sebuah Strategi Pembelajaran Terapan

STRATEGI PEMBELAJARAN AFEKTIF

Oleh : Mohamad Sugeng Haryono, SE, S.Pd

( Pemerhati Pendidikan )

Pembelajaran afektif banyak yang beranggapan bukan untuk diajarkan, seperti pelajaran biologi, fisika ataupun matematika. Pembelajaran afektif merupakan pembelajaran bagaimana sikap itu terbentuk setelah siswa atau manusia itu memperoleh pembelajaran. Oleh karena itu yang pas untuk afektif bukanlah pengajaran, melainkan pendidikan. Strategi pembelajaran yang akan kita bahas ini diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan yang bukan hanya dimensi kognitif tetapi juga menyangkut dimensi lainnya yakni sikap dan ketrampilan, melalui proses pembelajaran yang menekankan kepada aktifitas siswa sebagai subyek belajar. Afektif berhubungan sekali dengan nilai (value), yang sulit diukur karena menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam. Dalam batas tertentu memang afeksi dapat muncul dalam kejadian behavioral, akan tetapi penilaiannya untuk sampai pada kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan membutuhkan ketelitian dan observasi yang terus menerus, dan hal ini tidaklah mudah untuk dilakukan, apalagi menilai perubahan sikap sebagai akibat dari proses pembelajaran yang dilakukan guru disekolah. Kita tidak serta merta menilai sikap anak itu baik. Sebagai contoh melihat kebiasaan berbahasa atau sopan santun yang bersangkutan, sebagai akibat dari proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru. Mungkin sikap itu terbentuk oleh kebiasaan dalam keluarga dan lingkungan sekitar.

Nilai adalah suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia yang sifatnya tersembunyi, tidak berada didalam dunia yang empiris. Nilai berhubungan dengan pandangan seseorang tentang baik dan buruk, layak dan tidak layak indah dan tidak inadah, dan sebagainya. Pandangan seseorang tentang semua itu tidak bisa diraba, kita hanya mungkin dapat mengetahuinya dari perilaku yang bersangkutan. Oleh karena itu, nilai pada dasaranya standart perilaku, ukuran yang menentukan atau kriteria seseorang mengenai baik dan buruk, layak dan tidak layak, dan sebagainya. Dengan demikian, pendidikan nilai pada dasarnya merupakan proses penanaman nilai kepada peserta didik yang diharapkan oleh karenanya siswa dapat berperilaku sesuai dengan pandangan yang dianggapnya baik dan tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku.

Ada empat faktor yang merupakan dasar kepatuhan seseorang terhadap nilai tertentu yang dikemukakan oleh Douglas Graham (Gulo, 2002), yaitu :

1. Normativist. Biasanya kepatuhan pada norma-norma hukum. Kepatuhan pada nilai atau norma itu sendiri; Kepatuhan pada proses tanpa memperdulikan normanya sendiri; Kepatuhan pada hasilnya atau tujuan yang diharapkannya dari peraturan itu.

2. Integralist, yaitu kepatuhan yang didasarkan pada kesadaran dengan pertimbangan-pertimbangan yang rasional.

3. Fenomenalist, yaitu kepatuhan berdasarkan suara hati atau sekadar basa-basi.

4. Hedonist, yaitu kepatuhan berdasarkan kepentingan diri sendiri.

Faktor Normativist adalah faktor yang kita harapkan menjadi dasar kepatuhan setiap individual, karena kepatuhan semacam inilah adalah kepatuhan yang didasari kesadran akan nilai tanpa memperdulikan apakah perilaku itu menguntungkan untuk dirinya atau tidak.

Dari empat faktor diatas terdapat lima tipe kepatuhan, yakni :

a. Otoritarian, yaitu suatu kepatuhan tanpa reserve atau kepatuhan yang ikut-kutan.

b. Conformist, kepatuhan ini mempunyai tiga bentuk, antara lain : conformist directed yaitu penyesuaian diri terhadap masyarakat atau orang lain, conformist hedonist yaitu kepatuhan yang berorientasi pada “untung-rugi” dan conformist integral yaitu kepatuhan yang menyesuaikan kepentingan diri sendiri dengan kepentingan masyarakat.

c. Compulsive deviant, yaitu kepatuhan yang tidak konsisten.

d. Hedonik psikopatik, yaitu kepatuhan pada kekayaan tanpa memperhitungkan kepentingan orang lain.

e. Supramoralist, yaitu kepatuhan karena keyakinan yang tinggi terhadap nilai-nilai moral.

Pada era teknologi informasi yang berkembang secara pesat ini, pendidikan nilai sangatlah penting untuk diterapkan sebagai filter terhadap perilaku yang negatif. Nilai pada seseorang tidaklah statis, akan tetapi selalu berubah. Setiap orang akan menganggap sesuatu itu baik sesuai dengan pandangannya pada saat itu. Oleh sebab itu, sistem nilai yang dimiliki seseorang itu bisa dibina dan diarahkan. Apabila seseorang menganggap nilai agama adalah diatas segalanya, maka nilai-nilai yang lain akan bergantung pada nilai agama itu. Dengan demikian sikap seseorang sangat tergantung pada sistem nilai yang dianggapnya paling benar dan kemudian sikap itu yang akan mengendalikan perilaku orang tersebut.

Gulo (2005) menyimpulkan tentang nilai sebagai berikut :

1. Nillai tidak bisa diajarkan tetapi diketahui dari penampilannya.

2. Pengembangan domain afektif pada nilai tidak bisa dipsahkan dari aspek kognitif dan psikomotorik.

3. Masalah nilai adalah masalah emosional dan karena itu dapat berubah, berkembang, sehingga bisa dibina.

4. Perkembangan nilai atau moral tidak terjadi sekaligus, tetapi melalui tahap tertentu.

Sikap adalah kecenderungan seseorang untuk menerima atau menolak suatu obyek berdasarkan nialai yang dianggapnya baik atau tidak baik. Dengan demikian, belajar sikap berarti memperoleh kecenderungan untuk menerima atau menolak suatu obyek; berdasarkan penilaian terhadap obyek itu sebagai hal yang berguna/berharga (sikap positif) dan tidak berharga/tidak berguna (sikap negatif). Sikap merupakan suatu kemampuan internal yang berperanan sekali dalam mengambil tindakan (action), lebih-lebih apabila terbuka berbagai kemungkinan untuk bertindak atau tersedia beberapa alternatif (Winkel, 2004).

Apakah sikap dapat dibentuk ?

Dalam proses pmbelajaran disekolah, baik secara disadari maupun tidak, guru dapat menanamkan sikap tertentu kepada siswa melalui proses pembiasaan. Belajar membentuk sikap melalui pembiasaan itu juga dilakukan oleh Skinner mellui teorinya operant conditioaning. Proses pembentukan sikap yang dilakukan Watson berbeda denagn yang dilakukan oleh Skinner. Pembentukan sikap yang dilakukan Skinner menekankan pada proses peneguhan respons anak. Setiap kali anak menunjukkan prestasi yang baik diberikan penguatan (reinforcement) dengan cara memberikan hadiah atau perilaku yang menyenangkan. Lama kelamaan, anak berusaha meningkatkan sikap positifnya.

Pembelajaran sikap seseorang dapat juga dilakukan melalui proses modelling, yaitu pembentukan sikap melalui proses asimilasi atau proses mencontoh. Salah satu karakteristik anak didik yang sedang berkembang adalah keinginannya untuk melakukan peniruan. Prinsip peniruan ini yang dimaksud dengan modeling. Modeling adalah proses peniruan anak terhadap orang lain yang menjadi idolanya atau orang yang dihormatinya.

Proses penanaman sikap anak terhadap sesuatu obyek melalui proses modeling pada awalnya dilakukan secara mencontoh, namun anak perlu diberi pengarahan dan pemahaman mengapa hal itu dilakukan. Hal ini diperlukan agar sikap tertentu yang muncul benar-benar didasari oleh suatu keyakinan kebenaran sebagai suatu sistem nilai.

Model-model Strategi Pembelajaran Sikap antara lain :

1. Model Konsiderasi

Model konsiderasi (the consideration model) dikembangkan oleh Mc. Paul (seorang humanis). Dia menganggap bahwa pembentukan moral tidak sama dengan pengembangan kognitif yang rasional. Menurut dia, pembelajaran moral siswa adalah pembentukan kepribadian bukan pengembangan intelektual. Model ini menekankan kepada strategi pembelajaran yang dapat membentuk kepribadian dengan tujuan agar siswa menjadi manusia yang memiliki kepedulian terhadap orang lain. Pembelajaran sikap pada dasarnya adalah membantu anak agar dapat mengembangkan kemampuan untuk bisa hidup bersama secara harmonis, peduli, dan merasakan apa yang dirasakan orang lain. Implementasi dari model ini, guru dapat mengikuti tahapan dibawah ini :

a.Menghadapkan siswa pada suatu masalah yang mengandung konflik, yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Cipatakan suasana “seandainya siswa tersebut ada dalam masalah itu”.

b.Menyuruh siswa untuk menganalisis situasi masalah dengan melihat bukan hanya yang tampak, tetapi juga yang tersirat dalam permasalahan tersebut, misalnya perasaan, kebutuhan, dan kepentingan orang lain.

c.Menyuruh siswa untuk menuliskan tanggapannya terhadap permasalahan yang dihadapi. Hal ini dimaksudkan agar siswa dapat menelaah perasaannya sendiri sebelum ia mendengar respons orang lain untuk dibandingkan.

d.Mengajak siswa untuk menganalisis respons orang lain serta membuat kategori dari setiap respons ang diberikan siswa.

e.Mendorong siswa untuk merimuskan akibat atau konsekuensi dari setiap tindakan yang diusulkan siswa. Siswa diajak berfikir keras dan harus dapat menjelaskan argumennya secara terbuka serta dapat saling menghargai pendapat orang lain.

f.Mengajak siswa untuk memandang permasalahan dari berbagai sudut pandang untuk menambah wawasan agar mereka dapat menimbang sikap tertentu sesuai dengan nilai yang dimilikinya.

g.Mendorong siswa agar merumuskan sendiri tindakan yang harus dilakukan sesuai dengan pilihannya berdasarkan pertimbangannya sendiri. Guru hendaknya tidak menilai benar atau salah atas pilihan siswa. Yang diperlukan nadalah guru dapat membimbing mereka menentukan pilihan yang lebih matang sesuai dengan pertimbangannya sendiri.

2.Model Pengembangan Kognitif

Model pengembangan kognitif (the cognitive development model) dikembangkan oleh Lawrence Kohlberg. Model ini banya diilhami oleh pemikiran John Dewey dan Jean Piaget yang berpendapat bahwa perkembangan manusia terjadi sebagai proses dari restrukturisasi kognitif yang berlangsung secara berangsur-angsur menurut urutan tertentu. Menurut Kohlberg, moral manusia itu berkembang melalui 3 tingkat, dan setiap tingkat terdiri dari 2 tahap. Tingkat-tingkat tersebut antara lain :

A. Tingkat Prakonvensional

Pada tingkat ini setiap individu memandang moral berdasarkan kepentingannya sendiri. Artinya pertimbangan moral didasarkan pada pandangannya secara individual tanpa menghiraukan rumusan dan aturan yang dibuat oleh masyarakat. Pada tingkat ini dibagi dua tahap yaitu Tahap orientasi hukuman dan kepatuhan, perilaku anak didasarkan kepada konsekuensi fisik yang akan terjadi. Anak hanya berfikir bahwa perilaku yang benar adalah perilaku yang tidak akan mengakibatkan hukuman. Jadi peraturan harus dipatuhi agar tidak timbul konsekuensi negatif; Tahap orientasi instrumental-relatif, perilaku anak didasarkan kepada rasa “adil” berdasarkan aturan permainan yang telah disepakati. Dikatakan adil manakala orang membalas perilaku kita yang dianggap baik. Dengan demikian perilaku itu didasarkan kepada saling menolong dan saling memberi.

B.Tingkat KonvensionalDalam tahap ini anak mendekati masalah didasarkan pada hubungan individu-masyarakat. Pemecahan masalah bukan hanya didasarkan pada rasa keadilan belaka, akan tetapi apakah pemecahan masalah itu sesuai dengan norma masyarakat atau tidak.

( M. Sugeng Haryono, SE, S.Pd Telp (0358) 6164165 / 085649032021 / 08883443848 / 081259718187 )

Kamis, 04 Juni 2009

Konstruktivisme...Masihkah Relevan ?

KONSEP BELAJAR KONSTRUKTIVISTIK

Oleh : Mohamad Sugeng Haryono, SE

(Guru SMP Islam Baitul ‘Izzah Nganjuk, Jawa Timur)

Belajar menurut perspektif konstruktivistik adalah pemaknaan pengetahuan. Hal tersebut berdasarkan asumsi pengetahuan bukanlah gambaran dunia kenyataan belaka tetapi selalu meripakan konstruksi kenyataan melakukan kegiatan subyek. Mind berfungsi sebagai alat menginterpretasi sehingga muncul makna yang unik.

Konstruktivistik menekankan pada belajar sebagai pemaknaan pengetahuan structural, bukan pengetahuan deklaratif sebagaimana pandangan behavioristik. Pengetahuan dibentuk oleh individu secara personal dan sosial. Pemikiran konstruktivisme bersifat personal dikemukakan oleh Jean Piaget. Perspektif konstruktivisme sosial dikemukakan oleh Vygotsky.

Berdasarkan proposisi-proposisi tersebut diatas, apa implikasinya dalam kegiatan belajar mengajar ? Coba anda refleksikan bagaimana anda mengajar selama ini. Apakah anda telah mengorganisasikan pembelajaran berdasarkan konstruktivistik ? Bandingkan hasil refleksi anda dengan rumusan-rumusan dibawah ini :

Belajar berdasarkan konstruktivistik menekankan pada proses perubahan konseptual (conceptual-change process). Hal ini terjadi pada diri siswa ketika peta konsep yang dimilikinya dihadapkan dengan situasi dunia nyata. Dalam proses ini siswa melakukan analisis, sintesis, berargumentasi, mengambil keputusan, dan menarik kesimpulan sekalipun bersifat tentatif. Konstruksi pengetahuan yang dihasilkan bersifat viabilitas artinya konsep yang telah terkonstruksi bisa jadi tergeser oleh konsep lain yang lebih dapat diterima.

Driver dan Oldham memberikan strategi pembelajaran konstruktivitik sebagai berikut :

1. Orientasi, merupakan fase untuk memberi kesempatan kepada siswa memperhatikan dan mengembangkan motivasi terhadap topik materi pembelajaran.

2. Elicitasi, merupakan fase untuk membantu siswa menggali ide-ide yang dimilikinya dengan memberi kesempatan kepada siswa untuk mendiskusikan atau menggambarkan pengetahuan dasar atau ide mereka melalui poster, tulisan yang dipresentasikan kepada seluruh siswa.

3. Restrukturisasi ide, dalam hal ini siswa melakukan klarifikasi ide dengan cara mengkontraskan ide-idenya dengan ide orang lain atau teman melalui diskusi. Berhadapan dengan ide-ide lain, seseorang dapat terangsang untuk merekonstruksi gagasannya, kalau tidak cocok. Sebaliknya menjadi lebih yakin jika gagasannya cocok. Membangun ide baru, hal ini terjadi jika dalam diskusi idenya bertentangan dengan ide lain atau idenya tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan teman-temannya. Mengevaluasi ide barunya dengan eksperimen. Jika dimungkinkan, sebaiknya gagasan-gagasan yang baru dibentuk itu diuji dengan suatu percobaan atau persoalan yang baru.

4. Aplikasi ide, dalam langkah ini ide atau pengetahuan yang telah dibentuk siswa perlu diaplikasikan pada bermacam-macam situasi yang dihadapi. Hal ini akan membuat pengetahuan siswa lebih lengkap bahkan lebih rinci.

5. Review, dalam fase ini memungkinkan siswa mengaplikasikan pengetahuannya pada situasi yang dihadapi sehari-hari, merevisi gagasannya dengan menambah suatu keterangan atau dengan cara mengubahnya menjadi lebih lengkap. Jika hasil review kemudian dibandingkan dengan pengetahuan awal yang telah dimiliki, maka akan memunculkan kembali ide-ide (elicitasi) pada diri siswa. (M. Sugeng Haryono - 03586164165)

Kognitif... Sebuah Proses Belajar yang Membangun

KONSEP BELAJAR KOGNITIF

Oleh : Mohamad Sugeng Haryono, SE

(Guru SMP Islam Baitul ‘Izzah Nganjuk, Jawa Timur)

Dalam perspektif teori kognitif, belajar merupakan peristiwa mental, bukan peristiwa behavioral, meskipun hal-hal yang bersifat behavioral tampak lebih nyata hampir dalam setiap peristiwa belajar. Perilaku siswa bukan semata-mata respon terhadap yang ada, melainkan yang lebih penting karena dorongan mental yang diatur oleh otaknya. Belajar adalah proses mental yang aktif untuk mencapai, mengingat, dan menggunakan pengetahuan. Belajar menurut teori kognitif adalah perceptual. Tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya. Belajar merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku yang tampak. Teori kognitif menekankan belajar sebagai proses internal. Belajar adalah aktifitas yang melibatkan proses berfikir yang sangat kompleks.

Konsep-konsep terpenting dalam teori kognitif selain perkembangan kognitif adalah adaptasi intelektual oleh Jean Piaget, discovery learning oleh Jerome Bruner, reception learning oleh Ausubel.

Perkembangan kognitif yang digambarkan oleh Piaget merupakan proses adaptasi intelektual. Proses adaptasi tampak pada asimilasi dan akomodasi, equilibration. Asimilasi ialah proses perubahan apa yang dipahami sesuai dengan struktur kognitif (skemata) yang ada sekarang. Asimilasi adalah proses pengintegrasian informasi baru ke dalam struktur kognitif yang telah dimiliki oleh individu. Akomodasi adalah proses penyesuaian struktur kognitif kedalam situasi. Equilibration adalah pengaturan diri secara mekanis untuk mengatur keseimbangan proses asimilasi dan akomodasi. Dengan demikian proses belajar terjadi jika mengikuti tahap-tahap tersebut.

Perkembangan kognitif menurut Bruner terjadi melalui 3 tahap yaitu enaktif (melakukan aktifitas memahami lingkungan), ikonik (memahami obyek melalui gambar dan visualisasi verbal), dan simbolik (memiliki ide abstrak yang dipengaruhi oleh kemampuan berbahasa dan berlogika).

Jika Jean Piaget menyatakan bahwa perkembangan kognitif sangat berpengaruh terhadap perkembangan bahasa seseorang, maka Bruner menyatakan perkembangan bahasa besar pengaruhnya terhadap perkembangan kognitif. Dalam memahami dunia sekitarnya orang belajar melalui simbol bahasa, logika, matematika, dan sebagainya. Komunikasinya dilakukan dengan menggunakan banyak sistem simbol. Semakin matang seseorang dalam proses berfikirnya semakin dominan sistem simbolnya.

Perkembangan kognitif yang digambarkan oleh Bruner merupakan proses discovery learning. Proses belajar adalah penemuan konsep. Pemikiran ini bertolak pada pentingnya struktur mentransfer prinsip-prinsip dan sikap umum atau konsep yang merupakan dasar untuk mengenal permasalahan lain sebagai masalah khusus yang berhubungan dengan prinsip umum yang telah dikuasai.

Jika discovery learning merupakan pembelajaran induktif, maka reception learning merupakan pembelajaran deduktif. Salah satu konsep penting dalam reception learning adalah advance organizer sebagai kerangka konseptual tentang isi pelajaran yang akan dipelajari siswa.

Meskipun teori belajar social dari Albert Bandura menekankan pada perubahan perilaku melalui peniruan, banyak para pakar tidak memasukkan teori ini sebagai bagian dari teori belajar behavioristik. Sebab, Albert Bandura menekankan pada peran penting proses kognitif dalam pembelajaran sebagai proses membuat keputusan yaitu bagaimana membuat keputusan perilaku yang ditirunya menjadi perilaku miliknya. (M. Sugeng Haryono - 03586164165)

Media Pembelajaran. Pentingkah ?

MEDIA PEMBELAJARAN

Oleh : Mohamad Sugeng Haryono, SE

(Guru SMP Islam Baitul ‘Izzah Nganjuk, Jawa Timur)

Media berasal dari bahasa latin merupakan bentuk jamak dari “medium” yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar.

Media pembelajaran menurut :

1. Schramm (1977)

Teknologi pembawa pesan yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran.

2. Briggs (1977)

Sarana fisik untuk menyampaikan isi/materi pembelajaran seperti : buku, film, video, dsb.

3. National Education Association (1969)

Sarana komunikasi dalam bentuk cetak maupun pandang-dengar, termasuk teknologi perangkat keras.

Media Pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat menyalurkan pesan, dapat merangsang fikiran, perasaan dan kemauan peserta didik sehingga dapat mendorong terciptanya proses belajar pada diri peserta didik.

Perkembangan Media Pembelajaran menurut Brown (1973), media pembelajara yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran dapat mempengaruhi terhadap efektifitas pembelajaran. Pada mulanya, media pembelajaran hanya berfungsi sebagai alat bantu guru untuk mengajar yang digunakan adalah alat bantu visual. Sekitar pertengahan abad ke-20 usaha pemanfaatan visual dilengkapi dengan digunakannya alat audio, sehingga lahirlah alat Bantu audio-visual. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya dalam bidang pendidikan, saat ini penggunaan alat bantu atau media pembelajaran menjadi semakin luas dan interaktif, seperti adanya computer dan internet.

Media memiliki beberapa fungsi :

- Media pembelajaran dapat mengatasi keterbatasan pengalaman yang dimiliki oleh para peserta didik.

- Media pembelajaran dapat melalui batasan ruang kelas.

- Media pembelajaran memungkinkan adanya interaksi langsung antara peserta didik dengan lingkungannya.

- Media menghasilkan keseragaman pengamatan.

- Media dapat menanamkan konsep dasar yang benar, konkrit dan realistis.

- Media membangkitkan keinginan dan minat baru.

- Media membangkitkan motivasi dan merangsang anak untuk belajar.

- Media memberikan pengalaman yang integral/menyeluruh dari yang konkrit sampai dengan abstrak.

Jenis media belajar :

1. Media visual : grafik, diagram, chart, bagan, poster, kartun, komik.

2. Media audial : radio, tape recorder, laboratorium bahasa dan sejenisnya.

3. Projected still media : slide, OHP (over head projector), in focus dan sejenisnya.

4. Projected motion media : film, televise, video, komputer dan sejenisnya.

Bagaimana memilih media ?

Kriteria yang paling utama dalam pemilihan media bahwa media harus disesuaikan dengan tujuan pembelajaran atau kompetensi yang ingin dicapai. Jika tujuan atau kompetensi yang dicapai bersifat memahami isi bacaan maka media cetak yang lebih tepat digunakan. Kalau tujuan pembelajaran bersifat motorik (gerak dan aktifitas), maka media dari film dan video bisa digunakan. Disamping itu, terdapat kriteria lainnya yang bersifat melengkapi (komplementer), seperti : biaya, ketepatgunaan, keadaan peserta didik, ketersediaan dan mutu teknis.(M. Sugeng Haryono - 03586164165)

Konsep Belajar Behavioristik

KONSEP BELAJAR BEHAVIORISTIK

Oleh : Mohamad Sugeng Haryono, SE

(Guru SMP Islam Baitul ‘Izzah Nganjuk, Jawa Timur)

Penerapan konsep belajar Aktif, inovatif,kreatif, efektif, dan menyenangkan tidak serta merta dapat dilakukan jika siswa belum memiliki stock of knowledge atau prior knowledge dari hal yang sedang dipelajarinya.

Pemberian pengalaman belajar sebagai previous experience sangat dibutuhkan. Teori behavioristik memiliki andil besar terhadap hal tersebut. Proposisi-proposisi behavioristik menjadi landasan logis pengorganisasian pembelajaran yang beraksentuasi pada terbentuknya prior knowledge.

Belajar menurut perspektif behavioristik adalah perubahan perilaku sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungannya. Proses interaksi tersebut merupakan hubungan antara stimuli dan respon. Muara belajar adalah terbentuknya kebiasaan. Bagaimana kebiasaan terbentuk?

Watson mengemukakan ada 2 (dua) prinsip dalam pembentukan kebiasaan yaitu kekerapan dan kebaruan. Prinsip kekerapan menyatakan bahwa makin kerap individu bertindak balas terhadap suatu stimuli, apabila kelak muncul lagi stimuli itu, maka akan lebih besar kemungkinan individu memberikan respon yang sama terhadap stimuli tersebut. Prinsip kebaruan menyatakan bahwa jika individu membuat tindak balas yang baru terhadap stimuli, maka apabila kelak muncul lagi stimuli itu, besar kemungkinan individu akan bertindak balas dengan cara yang serupa terhadap stimuli tersebut.

Edwin Guthrie berdasarkan konsep contiguity menyatakan bahwa suatu kombinasi stimuli yang dipasangkan dengan suatu gerakan, akan diikuti oleh gerakan yang sama apabila stimuli tersebut muncul kembali. Pergerakan ini diperoleh melalui latihan. Guthrie juga mengemukakan prinsip tentang pembinaan dan perubahan kebiasaan. Pada dasarnya pembinaan dan perubahan kebiasaan dapat dilakukan melalui threshold method (metode ambang), the fatigue method (metode meletihkan), dan the incompatible response method (metode rangsangan tidak serasi).

Metode ambang adalah metode mengubah tindak balas dengan menurunkan atau meningkatkan stimuli secara berangsur. Metode meletihkan adalah menghilangkan tindak balas yang tidak diinginkan dengan menggalakkan individu mengulangi tindak balas itu sampai akhirnya ia letih. Metode rangsangan tak serasi yaitu dengan memasangkan stimuli yang menimbulkan tindak balas yang tidak diinginkan.

Thorndike berpendapat bahwa belajar pada dasarnya merupakan pembinaan hubungan antara stimuli tertentu dengan respon tertentu. Semua proses belajar dilakukan dengan coba-salah (trial dan error). Ada tiga hukum dalam hal tersebut yaitu :

1. Hukum hasil (law of effect);

Hukum hasil menyatakan bahwa hubungan antara stimuli dengan respon akan makin kukuh apabila terdapat kepuasan, dan sebaliknya.

2. Hukum latihan (law of exercise);

Hukum latihan menyatakan bahwa suatu hubungan antara stimuli dan respon akan makin kukuh apabila sering dilakukan latihan.

3. Hukum kesiapan (law of readiness);

Hukum kesiapan menyatakan bahwa hubungan antara stimuli dan respon akan menjadi kukuh jika disertai dengan kesiapan individu dalam belajar.

Skinner menyatakan bahwa peneguhan (reinforcement) memegang peran penting dalam mewujudkan tindak balas baru. Peneguhan diartikan sebagai suatu konsekuensi perilaku yang memperkuat perilaku tertentu.

Berdasarkan proposisi-proposisi dari para teoristi tersebut diatas, apa implikasinya dalam kegiatan belajar mengajar? Coba anda refleksikan bagaimana anda mengajar selama ini dan cocokkan hasil refleksi itu dengan pernyataan-pernyataan dibawah ini !

Kegiatan belajar mengajar berdasarkan prinsip-prinsip behavioristik merupakan kegiatan belajar figurative. Belajar seperti ini hanya menekankan perolehan informasi dan penambahan informasi. Belajar merupakan proses dialog imperative, bukan dialog interaktif. Belajar bukan proses organic dan konstruktif melainkan proses mekanik. Aktifitas belajar didominasi oleh kegiatan menghafal dan latihan.

Kelemahan dari teori ini adalah :

1. Proses belajar dipandang sebagai kegiatan yang diamati langsung, padahal belajar adalah kegiatan yang ada dalam system syaraf manusia yang tidak terlihat kecuali melalui gejalanya;

2. Proses belajar dipandang bersifat otomatis-mekanis sehingga terkesan seperti mesin atau robot, padahal manusia mempunyai kemampuan self regulation dan self control yang bersifat kognitif. Sehingga, dengan kemampuan ini, manusia bisa menolak kebiasaan yang tidak sesuai dengan dirinya.

3. Proses belajar manusia yang dianalogikan dengan hewan sangat sulit diterima, mengingat ada perbedaan yang cukup mencolok antara hewan dan manusia.(M. Sugeng Haryono - 03586164165)