PERKEMBANGAN KECERDASAN MANUSIA
Oleh : Mohamad Sugeng Haryono, SE, S.Pd
( Pemerhati Masalah Pendidikan )
Kecerdasan berdasar dari kata inteligensi. Inteligensi merupakan suatu kata yang memiliki makna sangat abstrak. Tidak seperti kata tinggi, berat atau umur. Walaupun nampak abstrak, telah banyak para ahli psikologi yang telah mencoba mengembangkan teorinya dalam memahami inteligensi.
Pada hakekatnya ada dua pandangan yang berkembang dalam memahami inteligensi :
A. Inteligensi Sebagai Faktor Tunggal
Tokoh yang mengembangkan pandangannya terhadap inteligensi sebagai faktor tunggal adalah Jensen, Ebbinghaus, dan Terman. Jensen (1979) mengartikan inteligensi sebagai kemampuan mental umum (general mental ability). Ebbinghaus (Rochmat Wahab, 1987) menyatakan bahwa inteligensi sebagai kemampuan untuk membuat kombinasi, sedangkan Terman mengemukakan bahwa inteligensi adalah kemampuan untuk berfikir abstrak.
Selanjutnya dijelaskan bahwa inteligensi merupakan suatu kemampuan multipel. Hal ini diperkuat oleh pendapat Kail dan Pallegreno (Stantrock and Yussen), 1992) yang menegaskan bahwa inteligensi itu dapat dijelaskan dengan terminologi pengetahuan dan penalaran. Semetara itu Robert Stenberg (1982) mengemukakan bahwa pada prinsipnya ada tiga karakteristik utama yaitu kemampuan verbal, pemecahan masalah praktis, dan kemampuan sosial. Hordward Gardner (1983) menegaskan bahwa inteligensi seharusnya didefinisikan sebagai seperangkat kemampuan untuk memproses operasi yang memungkinkan individu mampu memecahkan masalah, menciptakan produk, menemukan pengetahuan yang baru selama dalam kegiatan yang bermuatan nilai secara kultural. Oleh karena itu karakteristik yang menggambarkan intelegensi yaitu kemampuan dibidang linguistik, logika-matematik, musik, keruangan, kinestetik- motorik, interpersonal dan intrapersonal.
Berdasarkan rumusan-rumusan tersebut diatas, maka dapat ditarik suatu benang merah bahwa secara umum kecerdasan (inteligensi) dapat didefinisikan sebagai suatu konsep abstrak yang diukur secara tidak langsung oleh para psikolog melalui tes intelegensi untuk mengestimasi proses intelektual. Komponen utama inteligensi adalah kemampuan verbal, ketrampilan pemecahan masalah, kemampuan belajar dan kemampuan beradaptasi dengan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari.
Inteligensi adalah kesanggupan mental untuk memahami, menganalisis secara kritis, cermat dan teliti serta menghasilkan ide-ide baru secara efektif dan efisien.
Laure E. Berk (1994) menegaskan bahwa karakteristik inteligensi itu dapat bervariasi antara satu kelompok dengan kelompok usia lainnya. Menurut Sigler dan Richards (1980) bahwa ada 5 sifat yang berbeda antara satu kelompok dengan kelompok usia lain tentang karakteristiknya.
Tabel Perbedaan Karakteristik Inteligensi Dilihat dari Perbedaan Usia
6 bulan | 2 tahun | 10 tahun | Dewasa |
1. Mengenal orang dan obyek | 1. Kemampuan verbal | 1. Kemampuan verbal | 1. Penalaran |
2. Koordinasi moto-rik | 2. Kemampuan belajar | 2.3.4. Kemampuan be-lajar, pembentukan motorik, penalaran (ketiganya saling terkait) | 2. Kemampuan ver-bal |
3. Kecermatan | 3. Kesadaran terhadap orang dan lingku-ngan | | 3. Pemecahan masa-lah |
4. Kesadaran terha-dap lingkungan | 4. Koordinasi motorik | | 4. Kemmpuan belajar |
5. Verbalisasi | 5. Keingintahuan | 5. Kreativitas | 5. Kreativitas |
( Mohamad Sugeng Haryono, SE, S.Pd – HP. 085649032021 )
B. Teori Kecerdasan
Untuk mendefinisikan hakekat inteligensi terdapat berbagai perbedaan, Hal ini disebabkan oleh perbedaan pengertian dasar dalam memandang dan mengamati apa yang disebut perilaku inteligen. Teori yang dipakai acuan untuk mendefinisikan hakekat inteligensi (Subino Hadisubroto, 1984; Moh. Surya, 1979) yaitu meliputi teori keturunan lingkungan, epistimologis-biologis, struktural dan faktorial.
1. Teori Keturunan-lingkungan
Teori ini dibagi lagi menjadi tiga yaitu :
a. Yang memandang bahwa inteligensi lebih ditentukan oleh keturunan daripada oleh lingkungan. Empat tokoh yang memperkuat teori ini adalah Arthur R. Jensen (1969) yang menyimpulkan dari hasil penelitiannya bahwa inteligensi itu lebih ditentukan oleh keturunan daripada lingkungannya. Sir Cyril Burt (1955) memandang bahwa inteligensi itu sebagai kemampuan berfikir umum yang dibawa sejak lahir. Woodrow (Butcher, 1973) memandang bahwa inteligensi sebagai kapasitas bawaan. David Wechsler (1943) juga memndang bahwa inteligensi itu sebagai kapasitas bawaan serta kapasitas yang bulat untuk bertindak secara terarah, berfikir rasional, dan berhubungan dengan lingkungannya secara efektif.
b. Yang memandang inteligensi sebagai yang lebih ditentukan oleh lingkungan daripada keturunan. Tokohnya adalah Jerome S. Kegan (1969) yang didasarkan pada pengamatannya terhadap anak-anak kulit putih lapisan bawah dan menengah, sewaktu mengerjakan tes inteligensi. Kegan melihat bahwa anak-anak lapisan bawah bekerja kurang baik apabila dibandingkan dengan anak-anak lapisan menengah.
c. Yang memandang inteligensi sebagai hasil keturunan, lingkungan, dan interaksi antara keduanya. Berdasarkan teori ini yang tokoh-tokohnya diantaranya Crow (1972), Hilgard (1962), Ross (1974) da Clark (1983) konsepnya dapat dirumuskan bahwa perkembangan intelektual merupakan hasil interaksi antara pola genetis dan pengaruh lingkungan.
2. Teori Epistimologis-biologis
Teori ini dibagi menjadi dua yaitu :
a. Yang memandang bahwa inteligensi sebagai kemampuan berfikir jernih, analitis dan komprehensip. Tokohnya antara lain Lewis M. Terman (Butcher, 1973) yang memndang bahwa inteligensi itu disarikan sebagai kemampuan abstrak. Kemudian G.D. Stoddard (1943) yang menyatakan bahwa inteligensi itu merupakan kemampuan majemuk, yakni kemampuan menyelesaikan tugas-tugas yang sulit, rumit, abstrak, ekonomis, adaptif terhadap tujuan, berbobot sosial dan original, serta tetap memelihara kemampuan menyelesaikan tugas-tugas seperti itu didalam kedaan yang menuntut pemusatan energi dan menahan gejolak-gejolak emosional. Henry E. Garret (1946) yang menyatakan bahwa inteligensi paling sedikit sebagai kemampuan-kemampuan yang diperlukan untuk memecahkan persoalan-persoalan yang menuntut pemahaman dan penggunaan simbol-simbol, baik berupa kata-kata, angka-angka, diagram-diagram, persamaan-persamaan maupun rumus-rumus yang meyatakan gagasan-gagasan dan hubungan berbagai hal dari yang sederhana sampai yang sangat rumit.
b. Yang memendang inteligensi sebagai kemampuan menyesuaikan diri terhadap situasi yang baru (biologis). Jean Piaget (1956) yang menyatakan bahwa inteligensi adalah kemampuan melakukan penyesuaian diri terhadap lingkungan. Williem Ster berpendapat bahwa inteligensi itu merupakan kemampuan personal untuk dapat menghadapi tuntutan-tuntutan baru dengan menggunakan alat-alat berfikir secara efisien.
3. Teori Struktural
Dibagi menjadi dua model yaitu :
a. Model Struktural Guilford
Model ini sering dikenal dengan sebutan The Structure of Intellect yang mula-mula dikembangkan oleh
b. Model Facet Guttman
Guttman (Subino hadisubroto, 1984) mengemukakan bahwa ia sangat terkesan oleh kenyataan bahwa dengan pemilihan tes yang cermat, maka orang dapat memperoleh matriks korelasi antar tes yang memiliki koefisien-koefisien korelasi sama pada dua belahan geometrik yang dibelah oleh garis diagonal. Dengan menggunakan prinsip-prinsip analisis matrik korelasi tersebut, Guttmann meyimpulkan bahwa ada tiga kategori tes inteligensi, yakni tes yang disusun didalam bentuk gambar-gambar, simbol-simbol dan kata-kata bermakna. Menurut Guttman model tersebut belum lengkap. Untuk melengkapinya Guttman mengusulkan butir-butir soal analitis dan prestasi belajar ke dalam tes inteligensi tersebut.
4. Teori faktorial
Teori faktorial ini mempunyai berbagai variasi anatara lain :
a. Teori satu - faktor Binet
Teori ini berpendapat bahwa inteligensi itu terbangun atas satu faktor saja, yaitu faktor “G” saja (Freeman, 1965). Yang dimaksudkan dengan faktor “G” disini adalah faktor kemampuan umum (general ability).
b. Teori dua – faktor Spearman
Teori ini berpendapat bahwa inteligensi itu terbangun atas dua faktor, yaitu faktor general ability (“G”) dan special ability (“S”). Teori dua faktor Helpzinger merupakan variasi dan teori Spearman. Dia berpendapat bahwa tes yang tidak memenuhi syarat proporsionalitas tidak perlu dipandang sebagai pengganggu dan harus dibuang dari tes yang bersangkutan, sepanjang bagian-bagian tes lainnya dari tes tersebut memiliki faktor kebersamaan yang sama.
c. Teori bertingkat Philip E. Vernon
Teori ini mirip dengan konsepsi Spearman. Menurut Vernon (Subino Hadisubroto, 1984), bahwa dibawah faktor “G” itu terdapat dua faktor kelompok utama (major group factors) yang masing-masingmya adalah faktor pendidikan verbal (verbal educational factors) dan faktor praktis (practical factors). Yang pertama dibagi kedalam dua faktor kelompok minor (minor-group factors), yakni verbal dan numerical; sedangkan yang kedua dibagi menjadi kemampuan keruangan (spatial ability), kemampuan manual (manual ability), dan kemampuan mekanik (mechanical ability). Masing-masing bagian tersebut dibagi lagi menjadi faktor-faktor spesifik yang sangat besar jumlahnya dan mencakup lingkup yang sangat khusus.
d. Teori tiga faktor Sternberg atau Sternberg’s Triarchic Theory
Teori ini (Laura E.Berk, 1994) dibangun melalui tiga sub-teori yang berinteraksi secara fungsional, yaitu sub teori komponensial, sub teori eksperiensial, dan sub teori kontekstual. Teori ini menegaskan bahwa ketrampilan memproses informasi, pengalaman terdahulu yang berkaitan dengan tugas, dan faktor-faktor kontekstual atau kultural itu berinteraksi untuk menentukan perilaku yang inteligen. Sub teori komponensial lebih mengekspresikan tentang metakognisi, aplikasi strategi, dan pemerolehan pengetahuan. Sub teori eksperiensial menyatakan bahwa individu yang berinteligensi tinggi dibandingkan dengan individu yang berinteligensi rendah digambarkan pada kemampuan mengolah informasi lebih terampil didalam situasi yang baru, meyelesaikan tugas baru relatif lebih cepat, dan mampu menyelesaikan tugas yang lebih kompleks dan cara yang lebih otomatis. Sub teori kontekstual menjelaskan bahwa orang-orang yang inteligen itu lebih terampil dalam mengadaptasikan (adapting) keterampilan memproses informasi dengan tuntutan pribadi dan tuntutan dari kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, ketika mereka itu tidak dapat mengadaptasikan dengan situasi, mereka mencoba untuk membentuk (shaping) atau mengubahnya, sehingga dapat memenuhi kebutuhan. Jika mereka tidak dapat membentuknya, maka mereka menyeleksi (selecting) konteks-konteks yang baru yang konsisten dengan tujuannya. Dengan kata lain, sub teori kontekstual menekankan bahwa perilaku inteligen itu tidak pernah bebas budaya (cultural-free).
e. Teori inteligensi multipel
Teori ini mengidentifikasikan tujuh kecerdasan yang berbeda berdasarkan seperangkat processing operatioons yang diterapkan dalam kegiatan-kegiatan yang bermakna secara kultural (yaitu linguistik, logika-matematik, musikal, kinestetik, interpersonal, dan intrapersonal). Kecerdasan liguistik (Linguistic Intelligence) menggambarkan tentang sensitivitas terhadap suara, ritme, makna, kata-kata dan fungsi-fungsi bahasa yang berbeda. Misalnya : penyair dan jurnalis. Kecerdasan logika-matematik (Logico-mathematical Inteeligence) menunjukkan tentang sensitivitas terhadap dan kemampuan menditeksi, pola-pola logik atau numerikal; kemampuan mengatasi rangkaian panjang penalaran logik, misalmya ahli matematik dam saintis. Kecerdasan musikal (Musical Intelligence) yang menunjukkan kemampuan menghasilkan dan menghargai sentuhan, ritme (melodi), dan bunyi suara estetik; kemampuan memahami bentuk-bentuk ekspresi musik, misalnya : ahli biola, pianis dan pengarang lagu. Kecerdasan spasial (Spatial Intelligence) menggambarkan kemampuan memahami dunia ruang-visual secara tepat, menunjukkan transformasi persepsi-persepsi ini, dan menciptakan kembali aspek-aspek pengalaman visual ketika tidak ada rangsangan yang relevan, misalnya pematung dan pelaut. Kecerdasan kinestetik (Bodily-kinesthetic Intelligence) yang menunjukkan kemampuan untuk menggunakan tubuhnya secara terampil untuk mengekspresikan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan; kemampuan menangani obyek-obyek secara trampil, misalnya penari dan atlit. Kecerdasan interpersonal (Interpersonal Intelligence) menunjukkan kemampuan menditeksi dan merespon secara tepat terhadap suasana, temperamen, motivsi dan maksud orang lain, misalnya terapis dan penjaja. Kecerdasa intrapersonal (Intrapersonal Intelligence) menunjukkan kemampuan mendeskriminasi perasaan dari dalam yang kompleks dan menggunakannya untuk membimbing perilakunya sendiri; pengetahuan tentang kekuatan, kelemahan keinginan dan kecerdasan sendiri, misalnya orang yang teliti atau autodidak.
Berdasarkan deskripsi teori-teori diatas, kiranya sulit dikemukakan satu-satuanya rumusan definisi kecerdasan (inteligensi) yang tepat. Oleh karenanya rumusan definisi kecerdasan sangat tergantung pada teori mana yang relevan untuk kepentingan apa.( M. Sugeng Haryono, SE, S.Pd Telp. 0358 – 6164165 )
C. Klasifikasi Kecerdasan
Secara konvensional klasifikasi kecerdasan, dewasa ini masih mengikuti klasifikasi yang dikembangkan oleh Binet dan Simon, diantaranya pertama, retardasi mental yang meliputi idiot dengan IQ 30 kebawah, embisil dengan IQ 31-50, debil dengan IQ 51-70; kedua, slow-learner dengan IQ 71-90; ketiga, normal (rata-rata) dengan IQ 91-110; keempat, rapid-learner dengan IQ 111-130; dan kelima, gifted dengan IQ 131 ke atas.
Perlu disadari bahwa dewasa ini telah berkembang cara penghitungan dan distribusi skor IQ tradisional dan skor IQ modern (Laura E. Berk, 1994) :
1. Bahwa skor IQ tradisional sebagaimana yang dikembangkan oleh Stanford-Binet menjelaskan nahwa skor IQ itu diperoleh dengan mengkonversikan skor mentah dengan usia mental age (MA) yang menunjukkan usia anak berdasarkan skor yang diperoleh, Misalnya jika skor mentah rata-rata anak usia 8 tahun itu 40, maka skor mentah 40 itu sama dengan usia mental 8 tahun. Skor IQ dapat dihitung melalui membagi usia mental anak dengan usia kronologis atau chronological age (CA) dengan mengalikan dengan 100.
MA
IQ = x 100
CA
Anak yang mendapat diatas IQ 100 menunjukkan pada kelompok anak yang berkecerdasan diatas rata-rata, sedangkan anak yang mendapat skor dibawah IQ 100 menunjukkan pada kelompok yang berkecerdasan rendah.
Walaupuin pendekatan usia mental memberikan suatu cara yang relatif nyaman untuk membandingkan skor tes anak-anak, pendekatan ini sebenarnya memiliki dua kelemahan yaitu pertama, pendekatan ini mendorong orang yang tidak familiar dengan dasar skor akan menyimpulkan bahwa anak yang CA-nya 8 tahun dan MA-nya 12 tahun akan seperti anak yang berusia 12 tahun dalam segala hal, padahal yang relatif sama kan kemampuan akademiknya, sedangkan kemampuan sosial dipertanyakan. Kelemahan kedua yaitu perkembangan intelektual pada anak yang lebih muda itu cenderung lebih cepat daripada anak yang lebih tua. Perbedaan mental pada anak yang berusia 2-3 tahun jauh lebih besar daripada anak usia 10-11 tahun, sedangkan IQ yang berdasarkan formula ini tidak mendapat perhatian tersendiri.
2. Metode modern membedakan IQ secara langsung antara skor metah seorang anak dengan skor anak-anak lainnya yang berusia kronologis sama. Ini dapat disebut juga Deviation IQ, karena IQ-nya didasarkan pada penyimpangan tingkat kinerja anak dari rata-rata anak yang seusia. Ketika tes disusun berdasarkan sampel individu yang representatif, kinerja setiap tingkat usia untuk sebagian besar skornya jatuh mendekati pusar (rata-rata) dan semakin sedikit menuju ke ekstrim kanan dan kiri, sehingga wujudnya seperti kurva normal. Dua hal yang penting dari kurva ini, yaitu rata-rata (mean) dan simpangan (deviation) yang memberikan ukuran variabilitas skor dari rata-rata.
Sebagian besar tes mengkonversikan skor mentahnya pada rata-rata 100 dan SD-nya 15. Berdasarkan angka ini dapat ditemukan prosentase individu yang ada pada skor IQ tertentu. Anak yang ber IQ 100 lebih baik daripada 50% anak yang berusia sama. Sedangkan anak yang ber-IQ 115 berkedudukan lebih baik daripada 84% anak yang berusia sama. Metode modern ini dirancang untuk mengganti pendekatan MA, karena metode ini memungkinkan dapat mengadakan perbandingan langsung kinerja anak dengan sampel yang representatif dengan anak sebaya.
D. Faktor Kecerdasan dalam Belajar dan Perkembangan Anak
Pada dasarnya kemampuan manusia dapat dibedakan atas kemampuan intelektual dan kemampuan non-intelektual. Demikian juga kemampuan intelektual ada yang bersifat potensial dan aktual. Kemampuan inelektual potensial dapat dipresentasikan dengan kecerdasan atau inteligensi, sedangkan kemampuan intelektual aktual sering digambarkan dengan prestasi belajar. Bila ditelaah lebih jauh, prestasi belajar berkaitan erat dengan kecerdasan (inteligensi) bahkan prestasi belajar sangat ditentukan oleh faktor kecerdasan. Tylor (1974) menegaskan bahwa “Intelligence should not be defined as general learning ability, but it is clearly related to school success and to the kinds of life achievement that are dependent on schooling”.(Kecerdasan seharusnya tidak didefinisikan sebagai kemampuan belajar umum, melainkan kecerdasan itu secara jelas berkaitan dengan keberhasilan sekolah dan berbagai jenis prestasi hidup yang tergantung pada pendidikan).
1. Studi Lyn Lyn Michell dan R.D. Lambourne (Subino Hadisubroto, 1984), menyimpulkan bahwa pertama, kelompok cerdas mampu bertahan berdiskusi loebih lama dengan kognitif lebih tinggi dan mampu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang lebih berbobot; kedua, kelompok cerdas mampu mengemukakan gagasannya yang lebih tentatif dan lebih kaya; dan ketiga, kelompok cerdas lebih mampu mencapai tingkat pemahaman yang lebih rumit dan lebih kaya.
2.
3. Korelasi antara hasil tes Wechler dengan prestasi siswa yang dilakukan oleh Soedarsono (1985) pada siswa SD Negeri dan Swasta di Indonesia tahun 1984 dalam disertasinya dilaporkan bahwa koefisien korelasi inteligensi dengan prestasi Bahasa Indonesi sebesar 0,518, IPS sebeesar 0,528, IPA sebesar 0,505, dan Matematika sebesar 0,587 yang semuanya signifikan pada taraf signifikasi 0,001.
4. Studi yang dilakukan oleh Nason (Moh. Surya, 1979), menemukan bahwa koefisien korelasi antara inteligensi dengan prestasi belajar sebesar 0,34 untuk laki-laki dan 0,39 untuk perempuan.
Berdasar uraian tersebut diatas kiranya dapat ditegaskan lagi bahwa faktor kecerdasan dapat berperan sebagai predikator yang berarti terhadap belajar dan prestasi belajar anak. Mengapa demikian? Laura E. Berk (1994) menjelaskan bahwa pertama, IQ dan prestasi belajar bergantung pada proses penalaran abstrak yang sama yang melandasi faktor “G” Spearman. Seorang anak yang memiliki kemampuan “G” faktor, cenderung mampu secara lebih baik memperoleh pengetahuan dan ketrampilan yang diajarkan disekolah. Kedua, inteligensi dan prestasi diambil dari kutub yag sama dari informasi spesifik secara kultural. Maksudnya bahwa tes inteligensi sebagiannya sama dengan tes prestasi, dan pengalaman masa lalu anak mempengaruhi penampilannya pada kedua tes.
Walaupun IQ berkontribusi terhadap prestasi belajar, faktor kecerdasan bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan keberhasilan belajar anak, karena hubungan keduanya sangatlah kompleks, bahkan sangat ditentukan oleh berbagai faktor lainnya, misalnya motivasi dan karakteristik kepribadiannya.
Selanjutnya, bagaimana dengan perkembangan kecerdasan anak? Kiranya tidaklah dapat diragukan bahwa intervensi sejak dini (baik dilingkungan keluarga maupun di sekolah) memiliki sumbangan yang berarti bagi perkembangan kecerdasan anak. Laura E. Berk (1994) mengemukakan dua hasil studi yang memberikan dukungan terhadap pentingnya intervensi dini. Pertama, bahwa proyek Head Start memiliki pengaruh yang minimal terhadap kecerdasan anak dan prestasi belajarnya. Dinyatakan bahwa ketidakefektifan proyek ini disebabkan oleh kekurangtepatan penyusunan program pada subyek kontrol dan perlakuan. Perlu diketahui bahwa subyek studi dalam proyek ini berasal dari keluarga yang berekonomi rendah. Sementara itu melalui temuan Jensen (1969) dinyatakan bahwa tingkat kecerdasan anak yang rendah pada keluarga miskin sebagian besar dipengaruhi oleh keturunan dan sangat sulit untuk diubah. Kedua, studi yang bersifat longitudinal, yang dikoordinasikan oleh konsorsium. Hasil studi menunjukkan bahwa anak-anak yang mendapatkan perlakuan cenderung menunjukkan skor IQ dan prestasi belajar lebih tinggi daripada kelompok kontrol dini pada dua sampai tiga tahun pertama di SD. Setelah itu, perbedaan skor tes menurun. Walaupun demikian, anak-anak yang mendapatkan intervensi tetap akan mengalami kemajuan ketika berada disekolah hingga mencapai dewasa. Stephen Cecci (1990, 1991) menegaskan bahwa kehadiran anak di sekolah secara tidak teratur menimbulkan pengaruh yang lebih besar terhadap IQ. Sebaliknya anak yang mendapatkan perlakuan disekolah lebih teratur, maka akan mendapatkan kenaikan poin dari 10 hingga 30. Demikia juga halnya anak yang memasuki sekolah lebih lambat, maka tingkat kecerdasannya akan turun sekitar 7 poin.
Bertitik tolak dari kondisi tersebut, Cecci (1991) menegaskan bahwa, sekolah dapat berpengaruh positif terhdap tingkat kecerdasan, paling tidak melalui tiga cara, yaitu mengajar anak tentang pengetahuan faktual sesuai denmga pertanyaan yang diujikan; mempromosikan ketrampilan memproses informasi seperti strategi mengingat dan katagorisasi melalui item-item tes; dan mendorong sikap dan nilai yang mampu memelihara kinerja dalam menyelesaikan ujian secara sukses, sperti medengarkan dengan sungguh-sungguh pertanyaan orang dewasa (guru), menjawab dengan ketentuan waktu dan mencoba bekerja keras. (M. Sugeng Haryono, SE, S.Pd Telp. 085649032021)